Udara dingin yang menyelimuti kota Lembang di Bandung Barat, tidak menyurutkan niat Laras untuk menyelesaikan artikel tentang peristiwa dia hari kemarin. Meski dia mengenakan baju dengan lengan panjang, tetapi semilir angin yang masuk ke sela-sela kaca jendela dan bawah pintu membuat perempuan itu bergidik. Laptop yang sedari tadi terbuka di hadapannya menampilkan tulisan panjang berparagraf-paragraf di laman word. Laras sedang kesulitan untuk menuliskan bagaimana artikel itu berakhir. Karena dia merasa kurang dengan apa yang dia ketik selama tiga jam terakhir itu, sejak sore.
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar diketuk. Itu adalah Bude Ratih, Budenya Laras yang tinggal di Bandung karena ikut suaminya yang orang Lembang asli. Kemudian terdengar Bude memanggil Laras dari luar.
“Iya, masuk saja, Bude, pintu nggak dikunci,” teriak Laras yang masih fokus menatap monitor.
Seorang wanita tua dengan sweater berbahan woll yang tebal juga kain yang senantiasa menyelimuti bagian kanan dan kiri bahunya kemudian masuk ke dalam kamar. “Bude lihat lampu kamar belum dimatikan, jadi Bude panggil,” ucapnya sambil melangkah ke meja kerja Laras.
“Emangnya ada apa, Bude?” Kali ini Laras mengalihkan pandang pada Budenya.
“Ah. Bude cuma mau memastikan kalau kamu sudah menerima kabar dari adikmu, Ras.”
“Kabar apa? Laras belum menerima kabar dari Intan.”
“Belum? Coba periksa ponsel kamu, Ras.”
Laras mengambil ponselnya yang sedari tadi ada di sebelah laptopnya. Rupanya benar, ada beberapa notifikasi yang salah satunya adalah telepon dan pesan WhatsApps dari adiknya, Intan. Karena dia tidak mau diganggu, dia menyenyapkan nada dering ponsel. Walaupun sudah diganti mode getar, tapi saking fokusnya, dia tidak menyadarinya.
“Nikah? Intan akan menikah bulan Juni?”
“Iya, itu yang Bude dengar dari adikmu. Katanya tadi dia menelepon kamu juga tapi nggak kamu angkat.”
“Oh, baik, Bude, nanti saya telepon Intan setelah selesai mengerjakan tugas Laras.”
Wanita itu mengangguk. Dia kemudian melangkah menuju kursi di tepi kamar tak jauh dari meja kerja Laras. Meski sudah mendapat jawab pasti dari keponakannya itu, rupanya Bude belum merasa puas, seperti ada yang ingin dia sampaikan lebih lanjut. Bude memperhatikan keponakannya itu dengan raut masam. Rambut Laras yang dicat cokelat kemerahan, di matanya sungguh tidak memperlihatkan perempuan Jawa yang ayu. Laras yang sudah kembali menghadap laptopnya sedikit merasa risi dengan keberadaan Budenya itu.
“Ada apa, Bude?” Laras menoleh padanya.
Bude menatap Laras dengan wajah kerung. “Apa sebaiknya kamu pulang ke Surabaya, Ras. Mencari kerja yang pasti,” ujar Bude. “Bukan Bude mau mengusir kamu, Ras, tapi saya khawatir melihat kamu yang tak kunjung menikah di usia yang sudah tidak muda lagi, Ras,” lanjutnya. Laras tampak mengernyitkan dahi mendengarnya. “Bude cuma ingin nantinya kamu bahagia sama suami kamu, sama anak–.”