Di sebuah paviliun dengan atap kayu dan genteng tanpa dinding menjadikannya tampak seperti rumah kecil yang terbuka, terlihat dua orang anak kecil yang sepertinya sepantaran sedang bermain di sana. Satu anak perempuan sedang mengerjakan sesuatu di meja belajar lipatnya, sedangkan satu lagi anak laki-laki sedang berlarian tak karuan sambil menerbangkan kapal mainannya yang kadang mengganggu si anak perempuan yang membuatnya marah.
Laras memperhatikan mereka dengan raut wajah datar saat berjalan menuju dapur bersama Dita. Dipersilahkannya Laras duduk di kursi meja makan oleh tuan rumah. Sementara dirinya melanjutkan memotong sayuran yang tadi sempat terhenti karena mendengar ketukan pintu. Dari dapur, Dita bisa memantau anak-anaknya yang berada di paviliun seberang taman belakang sana.
“Bagaimana rasanya punya anak, Dit?”
Ada jeda saat Dita akan menjawab. “Rasanya punya anak? Biasa saja, sih, Ras. Ya, kayak ibu rumah tangga lainnya, setiap hari harus mengurus mereka. Capek. Tapi, aku sepertinya menikmati capeknya itu. Ya kadang, marah-marah juga sih,” jelas Dita yang diakhiri dengan senyum. Sambil melirik dua anaknya, Dita melanjutkan curhatannya. “Aku kan ibu rumah tangga, Ras. Jadi harus siap ambil risiko capek ngurus rumah.”
Dita terus berceloteh tentang pengalamannya sebagai ibu rumah tangga dan rasanya punya anak sesuai apa yang tanyakan Laras. Akan tetapi, Laras tidak terlalu mendengarkan kawannya itu. Dia malah menatap anak-anak nun jauh di sana yang mengingatkannya pada peristiwa sepuluh tahun lalu. Dia mulai beranjak dari kursinya dan melangkah ke pintu dapur untuk melihat anak-anak lebih dekat.
“Kenapa, Ras?” tanya Dita membuyarkan lamunan kosong Laras. Dita pun melihat anak-anaknya yang masih anteng bermain. “Kenapa?” Sekali lagi Dita bertanya.
Laras menoleh pada Dita yang masih sedang memotong sayur. “Bagaimana perasaanmu jika anakmu ... mati?”
Tentu saja pertanyaan itu membuat Dita terkejut. Seketika dia menghentikan kegiatan memotongnya. Dahinya mengernyit. Di hatinya ada rasa takut dan khawatir secara bersamaan walau sedikit. Dita jadi teringat pembicaraannya dengan Laras saat mengantarkannya ke rumah sakit untuk meliput berita. Sekali lagi, Dita melirik ke arah paviliun. Sepertinya, Dita tahu ke mana arah pertanyaan itu. Dan sepertinya, memang itulah tujuan Laras berkunjung ke rumahnya.
“Apa kamu ingin menceritakan apa yang kau alami dahulu?” tanya Dita sambil menatap lurus pada mata Laras. “Apa yang terjadi pada anakmu? Apa yang terjadi sebenarnya setelah kita berpisah di SMA dulu?” cecar Dita, lalu melanjutkan memotong sayur.
Laras pun kembali ke tempat duduknya di kursi meja makan. Dan sepertinya dia sudah siap menceritakan semuanya kepada sahabatnya itu. Dia duduk dan memenangkan diri dengan mengambil nafas panjang dan mengembuskannya perlahan.
“Mau minum apa, Ras? Teh atau kopi?” tawar Dita saat melihat Laras sepertinya tidak terlalu tenang.
“Teh saja, dengan gula satu sendok.”