Dengan perut yang sudah membesar, Laras datang sendirian ke rumah persalinan, tanpa didampingi keluarga atau suami yang memang tidak pernah terlihat lagi semenjak Laras ketahuan hamil lagi. Sengaja Laras mendaftarkan diri untuk dirawat inap di kehamilannya yang memasuki kesembilan bulan untuk mencegah kontraksi yang tiba-tiba muncul atau hal yang tidak diinginkan lainnya. Meski masih punya keluarga, Laras enggan memberitahu mereka karena sebenarnya mereka menentang kehamilannya itu. Selama mengandung, Laras tinggal di kosan yang keluarganya mengira bahwa ia bersama suaminya. Hanya adiknya, Intan, yang waktu itu masih sekolah di SMA, tahu kalau dirinya berada di rumah sakit.
Hari kelahiran pun datang.
Di sebuah malam, Laras merasakan air ketubannya pecah saat berada di toilet. Sakit yang tak tertahankan. Menurut bidan yang merawatnya, kemungkinan Laras sudah tidak bisa melahirkan secara normal karena rahim yang sebenarnya sudah rusak akibat proses pengguguran kandungan sebelumnya. Namun, Laras memilih untuk melahirkan secara normal. Para bidan dengan sigap menangani Laras. Dinding rahim yang memang sudah rusak membuat para bidan kewalahan mengeluarkan si jabang bayi dan membuat Laras merasakan sakit yang luar biasa, perih yang tak tertahankan. Hingga sekitar satu jam kemudian, sang bayi pun dilahirkan. Akan tetapi, tak ada suara tangis darinya. Laras terbaring tanpa tahu apa yang terjadi pada si bayi.
Pagi menjelang. Ternyata, keluarga Laras tahu bahwa dirinya sudah melahirkan. Intan lah yang diberitahu oleh pihak rumah sakit. Karena saat pendaftaran, nomornya yang Laras tulis sebagai nomor pihak keluarga yang bisa dihubungi jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Intan dan orang tuanya datang bersama bude dan pakde.
“Kenapa kamu tak beritahu kami?” Tentu saja pertanyaan itu akan dilontarkan oleh mereka. Akan tetapi, Laras memilih untuk tidak menjawabnya.
Laras mempertanyakan keberadaan bayinya yang belum dilihatnya sejak semalam. Seorang suster menjawab kalau anaknya sedang dirawat dalam inkubator. Laras mengernyit. Dia ingin melihat keadaan bayinya itu dan beranjak dari ranjang meski keadaannya belum pulih pasca melahirkan. Keluarga yang melarang Laras bangun lantas membujuk sang suster agar membawa si bayi ke ruangan itu. Atas persetujuan dokter bidan, mereka pun membawanya datang.
Sungguh miris hati Laras setelah melihat si bayi dalam inkubator dengan keadaan tubuhnya tidak normal.
Laras bangkit dan duduk di tepi ranjang dibantu ibunya dan Intan. Tiga perempuan itu menatap si bayi dalam inkubator. Tentu saja ada rasa iba, kasihan, juga kekhawatiran padanya. Kewarasan Laras mulai goyah. Dia tercenung melihat lurus kepada bayinya. Pikirannya terus saja terbang jauh pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, entah bagaimana kehidupan si bayi setelah tumbuh jadi anak-anak dan dewasa nantinya dengan keadaan seperti itu. Laras dengan polosnya berkata sesuatu yang tidak diduga oleh ibu atau adiknya.
“Kita siapkan pemakaman untuknya.”
“Hus, ngomong apa kamu, Ras?” sergah ibu heran.
***
Tiga bulan berlalu. Laras sekarang sudah pindah dari kosan dan tinggal di rumah orang tuanya bersama sang adik. Dia akhirnya merawat sang bayi dengan bantuan keluarganya. Ada kekhawatiran dari sang ibu melihat Laras yang sering kali melamun di teras depan menelantarkan anaknya di kamar. Padahal, sang bayi masih membutuhkan ASI dari sang ibu.
“Ras, itu anakmu menangis, kasih ASI, gih.”
Laras yang masih menekur, tidak menjawab. Ibunya menggeleng pelan melihat kondisi Laras yang semakin hari, semakin memprihatinkan. Semenjak pulang ke rumah orang tuanya, tubuhnya sudah jarang bersentuhan dengan air, rambutnya sudah tidak kenal yang namanya sisir, wajahnya tak pernah lagi dipoles alat kecantikan, pakaian yang dikenakan pun itu-itu saja yang kadang bisa dipakai berhari-hari lamanya. Ibunya kemudian pergi ke dalam rumah dan tidak lama kemudian keluar lagi sambil menggendong cucunya yang sudah tenang karena diberi botol susu formula. Dengan hati-hati wanita yang sudah mulai beruban itu duduk di tembok pagar teras tepat di samping Laras yang kemudian menoleh pada bayinya dengan raut wajah datar.