Jalanan kota tampak ramai di pagi hari menjelang siang. Laras berjalan agak sempoyongan sambil menggendong anaknya dengan kain jarik batik. Panas terik matahari tidak menyurutkan niatnya menuju kantor polisi untuk mengakui semua perbuatannya. Wajahnya datar. Tubuhnya lusuh. Sejak dari rumah, Laras tidak pernah melihat kembali si bayi yang dia sembunyikan di balik kain itu.
“Pak, aku ingin melaporkan pembunuhan.”
Langsung saja Laras berkata demikian dengan entengnya begitu sampai di pos polisi. Pria berseragam cokelat yang ada di balik meja kantor pos tak terlalu menggubris. Kemudian dengan malasnya ia berdiri dan langsung melangkah ke luar untuk menunjukkan arah ke mana Laras harus pergi untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Namun, Laras terdiam. Dia tak mengerti dengan arahan pak polisi. Melihat perempuan itu masih berdiri di hadapannya dengan wajah datar, pria itu kemudian berjalan dan menyuruh Laras untuk mengikutinya.
“Siapa nama kamu, Mbak?” tanya seorang polisi lain.
Laras sudah berada di ruang kantor, terduduk di sebuah kursi, tepat di depan meja di mana pak polisi yang bertanya itu duduk.
“Mbak, nama mbak siapa?” tanyanya lagi. Bukannya menjawab, Laras malah menyungging. Entah itu menertawakan prosedur yang harus dia jalani untuk sekedar melapor atau menertawakan hal lain. Polisi itu mengangkat alis lalu melirik perempuan di balik tabung komputer yang menghalanginya.
Laras sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tanpa pikir panjang, Laras langsung membuka kain gendongannya dan meletakkan si bayi di atas meja tepat di belakang komputer. “Aku sudah membunuh bayi ini, Pak,” ucap Laras. Tak pelak, polisi yang bertanya dan polisi yang mengantar tadi terkejut hebat saat melihat seonggok bayi abnormal yang sudah tak bernyawa itu.
***