Aaaa...!
Terdengar teriakan anak perempuan menjerit dari arah paviliun. Sontak hal itu membuat Dita yang sedang memasak langsung menengok ke arah suara. Begitu pula Laras, matanya langsung mengalih pandang ke sana.
“Syifa, ada apa?” tanya Dita pada anak perempuannya itu setelah berjalan ke pintu dapur.
Anak perempuan itu berkata-kata yang tak Laras maupun Dita bisa dengar. Hanya samar saja. Tetapi dari ekspresinya yang kesal dan seperti akan menangis, juga tangan yang menunjuk-nunjuk anak lelaki yang tertawa-tawa, sepertinya dia mengeluh bahwa dia diganggu adiknya itu.
“Daffa, jangan ganggu kakakmu!” teriak Dita.
Anak laki-laki itu tertawa kemudian berlari dari paviliun ke teras belakang yang sepertinya akan menuju dapur. Dia berlari sambil loncat-loncat bahagia, meninggalkan kakaknya yang tampak mengoceh dengan kedua tangan di pinggang. Syifa kemudian membereskan kertas-kertas dan buku yang sudah berantakan ke meja belajar lipat itu kembali.
"Bu, Ibuuu,” panggil Daffa saat hampir sampai pada ibunya.
“Kamu itu nggak boleh ganggu kakakmu,” ucap Dita dengan lembut.
Entah apa anak itu mendengarkan atau tidak, tapi dia malah mengungkapkan niatnya ke dapur menghampiri ibunya. “Bu, pinjam hape, Bu. Daffa mau main gim,” ucapnya polos. Anak berumur lima tahun itu kemudian melirik Laras. “Halo tante Laras,” sapanya sambil menggeliat dan memeluk kaki ibunya.
Laras tersenyum. “Halo, Daffa.”
“Kamu nggak boleh main hape terus, ah. Nanti matanya sakit,” ucap Dita yang berusaha melepaskan pelukan anaknya lalu berjalan menuju area dalam dapur tadi yang lantas dikuti Daffa di belakangnya.
“Daffa mau main gim, Bu. Daffa bosan,” rengek anak lelaki itu. Anak itu memainkan ujung bajunya sambil memasang wajah memelas. “Bu,” panggilnya sekali lagi masih dengan rengekan.
Ibunya yang sedang mengoseng-oseng sayuran menengoknya. Dia tampak berpikir dan tak lama dia pun memperbolehkan Daffa meminjam ponselnya. “Ya sudah, sana ambil di atas meja. Tapi jangan lama-lama, ya,” ucapnya dengan nada lembut.
“Asyik.” Anak kecil itu langsung terlihat gembira dan segera berlari menuju meja.
Kemudian Daffa melihat ponsel itu di atas meja dekat Laras duduk. Dia berdiri agak berjingkat untuk berusaha meraih ponsel itu. Laras yang melihat bocah itu kesusahan segera mengambilkannya. “Terima kasih, Tante,” ucap Daffa setelah menerima ponsel itu dari tangan Laras. Daffa pun kemudian pergi berlari dengan langah pendek-pendek. sambil menggenggam ponsel itu di tangan. Laras yang melihatnya tersenyum. Bocah itu tampak gembira begitu sampai di paviliun dan memamerkan ponselnya pada kakaknya lalu duduk di sofa.
“Lalu bagaimana, Ras, selanjutnya? Apa kamu dipenjara atau....” Dita tak berani melanjutkan kata-katanya. Hal itu membuat Laras tersadar dari perhatiannya pada Daffa. Dita rupanya masih penasaran dengan kisah masa lalu sahabatnya itu.
“Ya, aku dipenjara.”
“Loh, kok. Bukannya kamu itu....”
“Gila?”
“Maksudku, kau ... kau masih perlu penanganan khusus mengenai kondisi psikologismu itu, kan?”
“Iya, Dit. Aku memang dipenjara, tetapi tidak lama. Hanya 3 bulan saja. Keluargaku mengajukan banding.”
“Oh. Terus?” Dita yang sedang menuangkan tumis sayuran itu dari wajan ke sebuah wadah melihatku dengan rasa penasaran.