Seorang pria tampak gelisah berdiri tepat di depan pintu gerbang sebuah gedung yayasan rumah sakit jiwa. Pagi itu, suasana sekitar tampak sepi. Hanya ada beberapa orang saja lewat dan berlalu dengan kendaraan motornya. Pria itu adalah Feri. Dia ragu untuk masuk untuk menemui dokter Intan. Dia akan menjalani konseling di sana.
Tak lama kemudian sebuah mobil datang dan berhenti tepat di depan Feri. Seorang perempuan berambut cokelat kemerahan keluar dari sana setelah membayar ongkos pada seseorang yang ada di belakang kemudi. Itu Laras, yang heran melihat pria itu saat dia berjalan menuju gerbang. Karena risi, Feri pun pergi menjauh dari gerbang, berjalan menuju tempat di mana motornya diparkir.
Sambil mendorong koper, Laras berjalan masuk ke halaman gedung setelah sempat memperhatikan sejenak pria itu berjalan pergi.
“Mbak Laras.”
Seorang perempuan dengan pakaian kasual rapi menghampiri Laras dan menyapanya. Itu Intan, adiknya. Laras kemudian berdiri dan mencium pipi kanan dan kiri adiknya itu.
“Intan. Bagaimana kabar Ibu, Tan?”
Mereka pun duduk di sebuah sofa di sebuah ruang kerja Intan. “Setelah Kakek meninggal, Ayah pensiun. Ibu jadi sering sakit-sakitan. Ibu sudah tua, Mbak. Hanya ayah yang jaga ibu.”
“Lah kamu?”
“Pasienku banyak, Mbak. Kadang tidak sempat pulang dan harus menginap di sini. Apalagi nanti kalau aku sudah nikah, mungkin aku akan tinggal di rumah suami.”
“Karena itu kamu menyuruh aku pulang? Supaya Mbak tinggal di rumah? Jaga ibu?”
Intan tersenyum. “Lagian, Mbak juga, kan, tidak tahu mau nikah atau tidak. Tidak ada salahnya, kan, Mbak tinggal di rumah,” ucap Intan. “Intan sudah bilang sama manajer rumah sakit agar Mbak bisa kerja di sini. Staf administrator. Gajinya lumayan.”
“Iya, iya. Terima kasih, Tan.”
“Sama-sama, Mbak,” jawab Intan. “Ngomong-ngomong, Mbak bawa koper, emangnya baru tiba di Surabaya, Mbak? Kenapa tidak ke rumah dulu?”
“Lebih dekat lewat sini dari stasiun, sekalian saja mampir,” jawab Laras.
Obrolan pun berlanjut. Sambil menunggu pasien yang tak kunjung datang, Intan senang berbincang melepas rindu pada kakaknya setelah lama sekali tidak bertemu. Apalagi, Laras lah yang membuat Intan memutuskan kuliah jurusan psikologi dulu bersama-sama kakaknya itu, agar dia memahami apa yang dialami Laras dahulu.
***
Feri tampak gelisah saat mengendarai motor untuk pulang. Hari itu dia membolos lagi dari tempat kerjanya di pabrik konveksi hanya untuk menemui dokter psikolog yang dikenalnya di media sosial, dokter Intan. Dia ragu untuk masuk. Entah kenapa. Sebenarnya, sebelum ini, dahulu sekali ketika masih muda, Feri pernah masuk ke tempat rehabilitasi narkoba karena ketahuan mengonsumsi barang haram tersebut, yang di mana dia pernah melakukan sesi konseling juga.
Pagi menjelang siang. Karena tidak jadi berkonsultasi, Feri memutuskan untuk menjemput Nadia di sekolahnya. Dia pun parkir di seberang jalan gedung sekolah anaknya. Di atas motornya, dia menunggu jam pulang sekolah yang sudah tidak akan lama lagi, sambil sesekali melihat media sosialnya.
Saat sedang asyik menggulirkan video reel instagram, tiba-tiba muncul notifikasi pesan WhatsApps di bar atas layar. Pesan WA dari Dr. Intan.
[Mas, kenapa tidak jadi datang?]
Feri tidak langsung membalasnya karena tidak tahu harus menjawab apa. Setelah berpikir sejenak, dia menjawab dengan jujur.
Feri menjawab.
[Malu, Mbak.]
[Tadi pagi saya sudah datang ke sana, tapi ragu.]
[Saya nggak jadi masuk.]