Surga untuk Anakku

Hendra Wiguna
Chapter #14

Bagian 13

Laras melangkah naik ke teras rumah. Hanya ada penerangan dari lampu bohlam yang memancar kuning ke area halaman rumah. Suara jangkrik terdengar samar nan jauh. Perempuan itu melihat pagar tembok di mana dirinya dahulu sering duduk melamun di sana. Dia berusaha menghiraukannya, meski memori itu terus melekat dalam ingatan. Sudah lebih dari lima belas tahun sejak–Laras sering kali menyebutnya tragedi hilang kewarasannya–, kini semuanya sudah sangat berubah–yang dimaksud berubah adalah kondisi mentalnya–, sedangkan segala bentuk fisik rumah sama sekali tidak berbeda.

“Laras.” Suara serak nan berat seorang wanita memanggil.

Laras yang hampir tiba di pintu kamarnya menoleh. “Ibu.”

Wanita yang sedang mengenakan selendang dan sweater rajut itu memancarkan keharuan di wajahnya, seolah ingin melampiaskan kerinduan dan mengucapkan kata maaf. Laras berjalan setelah melepaskan tangan dari pegangan koper yang sedari tadi dibawanya. Lantas segera memeluk ibunya. Tangisan haru tak terelakkan menguasai keduanya.

Ada rasa canggung dari wanita tua itu kepada anaknya. Karena selama Laras mengalami hilang kewarasannya dahulu, dia tidak berlaku baik pada anaknya itu. Hal itu juga yang membuatnya berpikir apa yang terjadi pada Laras juga merupakan kesalahannya. Pun Laras juga pernah menyalahkan ibunya itu. Namun, kini keduanya sudah saling mengerti, sudah sejak lama. Kepergian Laras ke Jakarta beberapa tahun lalu sebenarnya bukan karena ibu, melainkan karena Laras ingin meraih cita-citanya sebagai reporter, cita-cita yang sempat dilupakan karena kekacauan masa kuliah itu. Meskipun hingga saat ini, cita-cita itu tak pernah diraihnya.

Wanita tua itu tampak senang saat melihat anaknya sudah kembali. Saat makan malam bersama, wajahnya tak henti melirik sambil tersenyum pada Laras. Mungkin, karena Laras sudah tampak jauh berbeda di matanya. Jauh lebih baik dan waras.


***


Surabaya tampaknya menampilkan pengaturan pabriknya: cerah cenderung panas meski itu masih pukul 7 pagi. Laras keluar dari rumah dengan pakaian formal sebagaimana gaya perempuan kantoran. Rambut cokelat kemerahannya itu dia ikat ke belakang agar terlihat rapi. Hari ini adalah hari pertama dia masuk kerja. Sebenarnya, Laras diberi keleluasaan masuk kapan saja mau mulai masuk setelah dia siap. Tapi, dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk segera beraktivitas. Lagi pula, Laras tahu dan paham, perlu penyesuaian diri di lingkungan kerjanya sekarang, sebab walaupun dia lulusan psikologi, ini adalah pengalaman pertamanya kerja di rumah sakit jiwa.

Dengan mobil sedan milik ayahnya–yang sudah lama menganggur sejak ayahnya itu pensiun–, Laras berangkat dan segera melajukan kendaraan tersebut setelah sekali lagi pamit pada kedua orang tuanya yang masih berdiri tersenyum kepadanya di teras.

Jalanan kota Surabaya tak jauh berbeda dengan Bandung maupun Jakarta yang ramai di pagi hari. Meski begitu, Laras akhirnya hampir sampai di gedung yayasan tempat kerjanya. Sebelum berbelok ke halaman, dia melihat seorang pria itu lagi yang berdiri di depan pintu gerbang. Sepertinya dia akan masuk, akan tetapi dia urung dan langsung berjalan ke arah motor yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri tadi.

Laras yang penasaran, alih-alih berbelok, dia berhenti dan menunggu pria itu melajukan motornya. Dia melihat jam digitalnya pada ponsel yang masih menunjukkan pukul 07:30. Mungkin masih ada waktu. Dia berniat akan mengikutinya lima belas menit saja. Entah kenapa Laras merasa harus mengikutinya, yang pasti hatinya gusar saat melihat pria itu kemarin berdiri di depan gedung.

Tapi, dia tidak melihat wajah itu tadi. Wajah yang seakan penuh dengan beban yang berat. Hari ini dia tampak biasa saja, bahkan bisa dibilang lebih bahagia. Terlihat dari senyum kecil yang kemudian mengembang saat dia mulai pergi mengendarai motornya. Laras pun mengikutinya. Di sepanjang jalan dia mencoba berhati-hati agar tidak ketahuan. Ramainya kendaraan juga menyulitkan pengejarannya. Hingga lima belas menit itu habis. Laras sudah harus berbalik arah. Akan tetapi, sepertinya pria itu sudah sampai tujuannya. Sebuah gerbang dengan tulisan nama pabrik konveksi terbuka dan motor itu masuk ke dalamnya.

Siang hari di jam istirahat.

Di belakang gedung, Laras tampak berdiri sambil mengapit sebatang rokok yang menyala di jari kananya. Matanya melihat ke seorang pasien lelaki yang sedang dibujuk oleh suster perempuan, tapi pikirannya tidak di sana, melainkan pada pria yang tadi pagi dikejarnya. Entah kenapa dia harus memikirkannya. Perempuan itu menyembuskan asap seakan membuang pikirannya itu.

“Laras?” Seorang perempuan berambut sebahu memanggil. Itu adiknya, Intan. “Saya cari kamu loh, Mbak. Sudah makan siang?” tanyanya sambil berjalan menghampiri kakaknya. Agak risi sebenarnya melihat kakaknya merokok, sebab di lingkungan rumah sakit ini tidak diperbolehkan kegiatan tersebut.

“Belum,” jawabnya.

Dua jari yang mengapit rokok itu Laras tunjukkan pada adiknya. Intan mengerti, bahwa dia akan makan setelah menghabiskan dulu rokoknya.

“Kenapa kamu, Mbak. Kayak sedang ada yang dipikirkan?” tanya Intan yang sudah berdiri di sebelah kakaknya.

Lihat selengkapnya