Surga untuk Anakku

Hendra Wiguna
Chapter #15

Bagian 14

Seminggu sudah Laras bekerja di sana. Sepertinya dia sudah beradaptasi dengan baik. Kesibukannya sejak hari pertama membuat Laras lupa pada pria yang dikejarnya tempo hari. Hingga pada saat Intan datang dan memberitahunya bahwa pria itu memberinya pesan lagi, Laras langsung teringat padanya kembali.

“Apa yang dia katakan, Tan?”

“Aku yang kirim pesan padanya untuk mengatur ulang jadwal lagi. Tapi, dia balas tidak jadi. Katanya, dia sudah sembuh.”

Laras mengernyit. “Sembuh?”

“Iya, dia tulis begitu.”

“Menurut kamu, apa dia bisa sembuh dengan sendirinya?”

Sebelum menjawab, Intan sempat menggeleng pelan. “Aku tidak yakin, Mbak. Dia belum pernah datang. Mungkin juga iya. Sebab, postingan terakhir facebook-nya memperlihatkan dia dan anaknya sedang masak bersama,” ungkap Intan yang kemudian mengambil ponsel di sakunya untuk menunjukkan salah satu foto Feri dan Nadia yang tersenyum bahagia sambil memegang satu buah wadah berisi penganan sayur Gudeg Jogja, seakan ingin memamerkannya. “Mungkin Mbak benar, dia mungkin hanya ingin mengejarku. Tipikal duda, mungkin dia naksir sama aku, Mbak. Soal ingin membunuh anaknya, mungkin hanya untuk mendapatkan perhatian dariku,” ucap Intan.

“Oh.” Hanya itu yang laras ucapkan saat melihat foto tersebut. “Baguslah kalau begitu,” lanjutnya.

Meski berkata seperti itu, Laras merasa ada sesuatu yang janggal. Entah apa. Kemungkinan-kemungkinan yang adiknya sebut tidak begitu meyakinkan baginya. Setelah Intan pamit pergi dari ruangan kantor, Laras masih termenung memikirkan pria itu di balik meja kerjanya. Beberapa saat kemudian, dia tersadar dan segera kembali mengerjakan tugasnya.

Pukul 15:06 sore terlihat di ponsel Laras.

Wanita itu kemudian mengambil tasnya, beranjak, dan meminta ijin untuk pergi pada kepala administrasi yang ada di sana dengan alasan ada yang harus dikerjakan di luar. Karena dia sudah tuntas mengerjakan tugasnya hari ini, pria dengan kemeja putih di balik meja kerjanya itu mengabulkannya. Laras pun pergi dengan mengendarai mobil bekas ayahnya menelusuri jalan menuju tempat yang tempo hari dia datangi saat mengejar pria itu. Setelah tiba di gedung pabrik konveksi, Laras memarkirkan mobilnya jauh di seberang jalan untuk menunggu jam bubarnya pabrik.

Lebih dari setengah jam menunggu, gerbang itu pun terbuka menghamburkan orang-orang berseragam dengan warna sama, beberapa motor saling mendahului pejalan kaki. Laras agak kesulitan memperkirakan yang mana pria itu. Akan tetapi, seorang pria dengan keranjang belanja rajut plastik mengusik pandangannya. Dia perhatikan dengan saksama. Beruntung, ternyata dia lewat di depan mobil yang dikendarai Laras hingga wajahnya bisa terlihat. Dan benar saja, itu adalah pria yang dimaksud.

Segera saja Laras menginjak gas dan meluncur mengikuti motor yang dikendarai pria itu. Namun, itu adalah jam bubarnya pabrik. Lalu lintas jadi lebih ramai dari sebelumnya. Dia tidak bisa menyusul kendaraan roda dua yang dapat menyalip-nyalip jalan walau sempit. Hingga, Laras pun kehilangan jejak.

Akan tetapi, Laras ingat pria itu membawa keranjang belanjaan. Lantas dia berpikir mungkin saja pria itu pergi ke belanja. Maka dari itu, Laras dengan tidak sabar mengendarai mobilnya di antara kemacetan menuju pasar.

Ada begitu banyak pasar di sekitar keberadaan Laras sekarang sebenarnya yang membuat dirinya tidak begitu yakin, tetapi akhirnya dia memilih pergi ke pasar terdekat. Setelah mobil terparkir, Laras bergegas masuk ke dalamnya, menyelami puluhan manusia dengan segala keriuhannya. Hampir setengah jam perjalanan diimpit kemacetan dan setengah jam lagi menelusuri pasar, Laras tidak yakin bisa menemukannya. Dia pun menyerah dan kembali ke tempat mobilnya terparkir. Akan tetapi, tepat sebelum masuk kendaraannya, Laras melihat pria itu sedang berdiri di hadapan lapak pedagang barang-barang rumahan. Dia hanya berdiri seakan mematung, setelah itu pergi begitu saja.

“Mas, boleh bicara sebentar.” Langsung saja Laras menghampiri dan bertanya begitu pria itu masuk ke area parkir motor.

Feri yang melihat akan kemunculan Laras yang tiba-tiba terkejut dan berhenti. “Maaf, mbak siapa, ya?” Feri terlihat gugup saat bertanya.

Lihat selengkapnya