Surga untuk Anakku

Hendra Wiguna
Chapter #18

Cita-Cita dan Mimpi Nadia

Di sebuah gang menuju rumah Feri, Laras berjalan agak pelan setelah memarkirkan mobilnya di seberang jalan raya sana. Sebenarnya perempuan itu agak sedikit ragu karena kedatangannya yang mendadak tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Pagi itu, dia sengaja datang ke sana mumpung mendapatkan sif siang. Laras tak langsung menuju rumah pria itu karena mendapati pintu tertutup rapat. Juga motor yang pikirnya terparkir di teras sempit itu tidak ada. Perempuan itu malah menuju warung kelontong yang tepat berada di depan rumah dan berdiri di sana.

“Mau beli apa, Mbak?” tanya seorang perempuan paruh baya yang melihat Laras. Laras menoleh ke arahnya, menyahutnya dengan senyum. Perempuan berdaster itu keluar dari warungnya karena melihat Laras yang terus memandangi pintu rumah di hadapannya.

Laras yang menyadari sedang di perhatikan, langsung saja bertanya sembarang. “Rumah itu, Bu, apa masih ada yang menghuni?” Laras kalang kabut.

“Ada,” jawab perempuan itu mengernyit. “Rumah itu maaih ada penghuninya. Pak Feri, sama satu anak perempuannya. Emang kenapa, Mbak?”

“Oh. Tidak.”

“Orangnya baru saja pergi. Mereka berdua pergi naik motor. Katanya mau ke pantai lagi. Jalan-jalan.”

“Oh. Begitu.”

Perempuan itu mengangguk. Lalu lanjut bercerita. "Kasihan dia, Mbak. Anak perempuannya sering sekali ditinggal sendirian di rumah. Saya sering dititipi anaknya. Ya, bukan mengasuh, cuma disuruh memantau saja. Bapaknya setiap hari kerja. Kecuali hari minggu. Ya, kalau nggak kerja dari mana dia dapat duit,” jelas perempuan itu yang diikuti tawa.

“Emangnya dia nggak punya keluarga yang lain?”

“Nggak tahu sih kalau itu. Tapi ini dulu tanah milik bapaknya Pak Feri. Sepuluh tahun lalu Pak Feri bangun rumah ini. Eh, iya, sebenarnya Feri punya istri tapi sudah lama nggak pulang-pulang.”

“Oh,” sahut Laras. “Kira-kira, mereka pergi ke mana, ya, Bu?”

“Pantai. Tapi tidak tahu pantai mana,” jawab perempuan itu. “Eh. Ngomong-ngomong, mbak ini siapanya Pak Feri?”

“Oh. Bukan siapa-siapa.” Laras yang sudah agak risi langsung saja pergi. “Permisi ya, Bu,” ucapnya sambil mengangguk sopan lalu berjalan menjauh. Perempuan itu mengernyit karena merasa ada yang aneh dengan gelagat Laras.


***


Siang itu panas terik matahari terasa menyengat. Nadia masih asyik bermain air di tepi pantai, sedangkan Feri berjalan-jalan tak jauh dari sana, mengawasi dan sesekali memotret atau memvideokan tingkah laku anaknya yang tampak bahagia. Gemuruh ombak sesekali terdengar seiring gulungan ombak yang menerpa kaki-kaki pengunjung pantai. Nadia melirik ke ayahnya, tersenyum manis, yang dibalas senyum bahagia Feri.

Tak lama kemudian, anak perempuan itu berlari kecil di antara air laut yang naik ke pasir pantai dan hanya dalam hitungan detik segera menghilang, berganti pantulan cahaya matahari yang memberkas di bekas air yang tertinggal di pasir. Nadia berjalan di antara pantulan-pantulan itu menghampiri ayahnya dan menyuruh untuk menyudahi kunjungannya di sana. Feri menyetujui. Dia mengambil barang-barang yang diletakkam di atas paair, lantas pergi undur diri meninggalkan para pengunjung yang sebagian baru berdatangan.

Motor berhenti di parkiran, tepat di depan rumah makan.

Mereka langsung masuk ke sana. Tampak sekali wajah Nadia yang tersenyum sambil melihat-lihat keadaan ruang rumah makan itu yang sudah penuh dengan para pengunjung.

Feri mencari-cari meja yang masih kosong, tetapi tak ada satu pun. Semua meja penuh. Pria itu sebenarnya berpikir untuk pergi saja dan mencari rumah makan lain. Namun, saat melihat wajah anaknya yang antusias dengan kedatangan mereka ke sana, dia urung. Beruntung sekali, setelah agak lama menunggu, satu rombongan keluarga terlihat akan menyudahi makan siangnya. Satu persatu dari mereka beranjak pergi. Feri langsung menuntun Nadia pergi ke meja itu sebelum didahului orang lain.

“Ramai sekali ya, Yah,” ucap Nadia sambil duduk di kursi.

Lihat selengkapnya