Surga untuk Anakku

Hendra Wiguna
Chapter #19

Laras yang Keras Kepala

Laras memarkirkan mobilnya kembali tepat di seberang jalan di mana gang menuju rumah Feri. Seharian itu, Laras hanya berkeliling tidak jelas menelusuri kota Gersik. Sebenarnya dia ingin menyusul Feri dan anaknya ke pantai, akan tetapi dia tidak tahu pantai mana yang dimaksud, sebab ada beberapa pantai di utara dan timur kota gersik. Dan pada sore harinya, perempuan itu kembali ke rumah Feri.

Suara panggilan ponsel terdengar. Laras yang masih duduk di belakang setir merogoh tasnya. Matanya masih memantau gang itu, menebak-nebak apakah orang yang ingin ditemuinya sudah pulang atau belum.

Mbak, kenapa hari ini nggak masuk? Sakit?

Itu telepon dari Intan. Mendapat pertanyaan itu, Laras kalap. Tak tahu harus menjawab apa. “Oh, mmm, tidak, Tan. Mbak lagi di luar kota.” Laras menggeleng pelan, lalu memasang wajah masam seakan menyesal dengan jawaban bodohnya.

Di luar kota? Kenapa nggak ijin dulu? Ini pak manajer rumah sakit nanyain.”

“Iya, maaf,” ucapnya. “Bilang saja Mbak ijin.”

“Ya nggak bisa gitu dong, Mbak...” Sejenak perkataan Intan terpotong. “Mbak, jangan-jangan Mbak pergi ke rumah Feri.”

Laras tersengir canggung. “Iya, Tan....”

Sementara itu.

Motor yang dikendarai Feri melaju kencang di jalanan yang agak lengang. Sesekali dia menyalip mobil-mobil di depannya. Hari sudah sore. Karena mendengar ucapan Nadia yang katanya dirinya belum melaksanakan shalat ashar saat berjalan-jalan di pasar festival setelah makan siang, dia jadi ingin segera menuju rumahnya. Dan sepertinya, hari ini tidak akan ada acara masak-masak, sebab empat bungkus nasi dan empat plastik berisi tongseng sapi sudah menggantung di depan stang motor kirinya.

Sebelum berbelok ke gang menuju rumahnya, Feri sempat melihat mobil yang terparkir di seberang jalan. Namun, dia tak terlalu memedulikannya.

Laras yang masih menjelaskan alasan kenapa dia tidak masuk hari ini pada Intan langsung menutup panggilan itu saat melihat motor Feri masuk ke dalam gang. Perempuan itu kemudian keluar dari mobil dan terburu-buru menyeberangi jalan raya dan segera masuk ke dalam gang itu. Dari kejauhan Laras bisa melihat Feri sedang berada di depan warung kelontong milik ibu yang dia temui tadi pagi.

“Apa ini?” tanya si ibu ramah.

“Nasi, Bu. Tadi saya beli sekalian buat ibu sama bapak.” Feri menyodorkan satu besar keresek ya g dibawanya tadi.

“Oh. Makasih, Fer.”

“Sama-sama, Bu.”

Laras berjalan agak cepat. Dia sebenarnya ingin sekali langsung menemui pria itu, meski dia tidak ingin tampak mencurigakan.. Namun, belum setengah lorong Laras berjalan, Feri sudah berpamitan pada si ibu dan segera pergi menuju rumahnya. Saat mencapai depan rumah, Laras sudah tidak bisa menemukan pria itu di halamannya. Begitu pula pintu sudah tertutup.

Laras berdiri di depan pintu itu. Agak khawatir, tapi dia paksakan untuk mengetuk lalu menunggu Feri keluar.

“Siapa ya?” ucap Feri setelah membuka pintu dan melihat Laras. Dahinya mengernyit, karena sepertinya dia pernah ketemu. “Oh, kamu yang di pasar itu ya?”

Laras mengangguk. “Iya, Mas.”

“Ada apa?” Feri beranjak keluar.

“Soal konsultasi itu.”

“Oh.” Ada risi tersirat di wajah Feri. “Bukannya sudah aku bilang, ya, Bu. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi.”

Lihat selengkapnya