Suara minyak panas dalam penggorengan terdengar sampai warung kelontong depan rumah. Tak lama Feri keluar kamar dengan pakaian seragam pabriknya. Di dapur Nadia tengah berdiri di hadapan kompor sambil memegang spatula di tangan kanannya.
“Sudah matang kroketnya, Nad?” tanya Feri. Nadia menoleh pada ayahnya yang sedang berjalan menghampiri lalu menggeleng pelan dan sedikit tersenyum. “Banyak banget gorengnya. Nanti nggak matang semua loh.”
Mendengar ayahnya, anak perempuan itu kembali melihat ke wajan penggorengan. Raut wajahnya agak khawatir. Kemudian dia membalikkan satu buah kroket yang ternyata saling melekat. “Nempel, Yah,” ucapnya polos dengan wajah muram manja.
“Makanya masukannya secukupnya saja dulu sesuai banyaknya minyak. Kenapa menggoreng banyak, Nad. Emang kamu bisa makan semua sampai habis?” tanya Feri sambil membantu memisahkan kroket yang melekat.
“Mau Nadia kasih sama teman-teman Nadia, Yah, di sekolah.”
“Oh,” ucapnya. “Semuanya? Buat Ayah mana?”
Nadia menggeleng. “Ayah bagi satu saja.”
“Kok satu? Mana kenyang.”
“Dua deh?” ucap Nadia.
Feri mendelik. “Lihat perut ayah. Besar begini mana cukup kalau cuma dua.”
Nadia tertawa geli.
Tiba-tiba minyak dalam wajan meletup. Sontak baik Feri maupun Nadia terkesiap. Tawa geli Nadia berubah tawa kaget. Sambil terus berusaha memisahkan kroket-kroket yang menempel, mereka tampak hati-hati seolah awas jika minyak itu membeli memuncratkan minyak panas.
***
Pagi cerah di halaman sekolah tempat Nadia menuntut ilmu. Seorang anak perempuan sedang berjalan ke luar, yang sepertinya akan membeli jajanan di depan gerbang sekolah sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi. Tak lama kemudian, motor yang dikendarai Feri tiba di seberang jalan. Nadia turun dan setelah mencium tangan ayahnya, ia langsung pergi berjalan untuk menyeberang di sepanjang zebra cross yang mengarah langsung ke pintu gerbang.
“Hati-hati!” teriak Feri.
Anak perempuan yang sedang merupakan teman sekelas Nadia memandang sinis sambil berdiri di depan gerobak menunggu jajanannya dibuat. Itu Ayu, anak yang pernah menyebut Nadia sebagai anak lonte. Namun, Nadia tidak memedulikannya dan langsung saja masuk ke halaman sekolah.
Tak lama bel berbunyi tepat saat Nadia masuk kelas.
“Hai, Nad,” sapa Lina, teman sebangkunya.
Nadia menyapa balik dan langsung masuk ke dalam untuk duduk di bangkunya. Dia melepas tas dan memasukkannya ke dalam kolong meja. Semburat senyum dia tampilkan saat membuka tasnya, sedikit saja, untuk melihat toples berisi belasan kroket yang dibuatnya bersama ayah. Dia tidak sabar ingin membagikannya pada jam istirahat nanti. Dia sudah membayangkan bagaimana teman-temannya menikmati penganan itu. Tas pun dia tutup kembali saat melihat seorang guru muncul di balik pintu.
Jam istirahat pun datang. Bel itu berbunyi nyaring sekali.
Anak-anak dalam kelas langsung beranjak dari bangkunya dan berjalan dengan riang ke luar kelas, termasuk juga Lina. Sebenarnya, Nadia ingin mengajak teman sebangkunya itu untuk membantunya membagi-bagikan makanan yang dibawanya. Akan tetapi, anak itu langsung beranjak setelah mengajak Nadia untuk jajan.
“Ayo.”
Nadia yang canggung urung meminta. “Duluan saja,” ucap Nadia. Tanpa pikir panjang lagi, anak perempuan berambut lurus itu kemudian pergi, berlalu meninggalkan Nadia yang gamang dengan maksudnya meminta.