Surga untuk Anakku

Hendra Wiguna
Chapter #21

Bagian 20

Feri menghentikan motor agak jauh dari gedung yayasan rumah sakit jiwa. Walau sebenarnya ada tempat parkir di area gedung, dia memilih sebuah tempat parkir di sisi jalan dekat dengan sebuah ruko yang masih tutup. Sepertinya, meninggalkan kendaraan, yang sudah setia menemani hidupnya selama sepuluh tahun ke belakang ini, di sana cukup aman. Masih dengan mengenakan seragam pabrik konveksinya, dia berjalan menuju pintu gerbang sambil sesekali memeriksa ponselnya. Sempat dia terhenti di depan gerbang dan memandangi besarnya gedung itu. Ada ragu di benaknya. Akan tetapi, kemudian dia menggerakkan kaki melangkah maju ke dalam.

[Aku sudah ada di lobi.] Feri mengirim pesan.

Lalu dia memasukkan ponsel itu ke saku bajunya. Dia terlihat agak canggung. Bukan linglung. Karena dia tahu betul seluk beluk sebuah rumah sakit, walau itu adalah kedatangan pertamanya ke rumah sakit jiwa. Pun ada satpam yang bisa ditanyai jika dirinya menang tak tahu arah jalan. Pria itu pun menghampiri meja resepsionis dan menanyakan keberadaan Dr. Intan. Tak lama, dia disuruh menunggu di ruang tunggu lobi oleh seorang wanita di belakang meja yang kemudian mengangkat telepon kerjanya. Feri pun menurut.

Seharusnya Feri bekerja di hari itu. Dia sudah berjanji pada anaknya untuk tidak akan pernah lagi membolos. Namun, janjinya mungkin harus dilanggar. Karena sepertinya dia harus menunggu lebih lama hingga ijin pada bosnya untuk masuk agak siang, yakni jam 10 pagi, harus diundur. Itu pun besar kemungkinan dia akan terlambat.

Satu jam lagi, kalau Dr. Intan atau kakaknya belum muncul, aku akan pergi kerja. Batinnya.

Sambil duduk menunggu di salah satu kursi lobi, dia mengeluarkan satu toples kecil berisi tiga buah kroket buatan anaknya dari tas selempangnya. Dia tersenyum saat melihat tiga potong kroket agak gosong itu. Nadia bersikeras memberi ayahnya yang gosong, sementara dirinya membawa yang cantik-cantik ke sekolah. Feri terkekeh lalu menggigit satu potong penganan itu. Nikmat! Senyum itu semakin lebar sembari mengunyah. Hatinya senang mengingat dialah yang mengajari dia masak. Entah kenapa, hal itu menjadikan dirinya lebih tenang dan lebih siap menghadapi sesi konsultasi itu.

Tepat jam 9 pagi. Dr. Intan mengirim dia pesan melalui Whatsapps yang mengabarkan dia akan segera menemuinya di sana.

Tapi, tak lama kemudian, seseorang memanggil dari arah belakang lobi. Rupanya itu Laras. “Feri, lama nunggu?”

Feri hanya bisa mengganggu pelan. “Masih lama? Saya harus kerja,” ucapnya. Berharap Laras mengerti bahwa dirinya tidak punya banyak waktu.

“Ayo. Kita ke ruang kerja Intan. Hmm, Dr. Intan. Maaf menunggu. Banyak pasien hari ini,” ucap Laras.

Mereka pun bergegas. Feri mengikuti ke mana Laras berjalan di belakangnya. Sempat dia melirik Laras yang tampak jauh berbeda dari penampilan saat dua kali bertemu di pasar dan di rumahnya. Feri tampak terpesona melihat Laras dari belakang hingga tidak sadar kalau sudah berada di depan pintu. Feri terkejut ketika Laras berbalik dan memperlihatkan wajahnya.

“Di sini, Mas. Ayo masuk.” Laras sempat heran saat menyadari Feri sedang memandanginya. Dengan canggung, Feri pun masuk setelah Laras membukakan pintunya.

Sebuah ruangan yang lebih mirip kantor, ruang tamu, dan bangsal dalam satu area menjadi hal pertama yang Feri lihat. Sangat tidak terkesan seperti rumah sakit, meski ranjang dorong khusus pasien sakit tampak di balik partisi kain gorden. Feri mengekor Laras berjalan ke satu set sofa di samping meja kerja, di mana papan nama Dr. Intan S.Psi. tertera.

“Duduk, Mas.” Laras mempersilahkan.

Namun, sebelum itu, Dr. Intan kemudian datang. Dia harus saja masuk ke ruangan itu. Feri yang akan duduk lalu berdiri kembali setelah melihat perempuan yang selama ini hanya bisa saksikan di media sosial dan aplikasi percakapan WhatsApps.

“Dr. Intan,” sapa Feri tersenyum.

“Mas Feri, apa kabar?” Dr. Intan menghampiri.

“Baik.”

“Silakan duduk,” ucap Dr. Intan yang langsung menjabat tangan pria itu.

Dan yang terjadi di ruangan itu selanjutnya adalah obrolan perkenalan mereka yang sudah terjalin selama beberapa tahun ini, sebelum masuk ke sesi konsultasi. Feri duduk di sebuah sofa tiga bagan tepat di hadapan Dr. Intan, sementara Laras berada di ujung sofa dua bagan dekat dengan adiknya. Semua itu agar Feri merasa nyaman saat bercerita nanti. Kedua posisi perempuan itu langsung menghadap tamunya itu.

Lihat selengkapnya