Surga untuk Anakku

Hendra Wiguna
Chapter #22

Bagian 21

Sejak pukul 6 pagi Laras sudah siap berangkat untuk menjemput Feri dan anaknya.

Dia keluar kamar dengan pakaian kasualnya; kaos putih; celana panjang jeans; sandal jepit gunung; dan topi yang menutupi sebagian rambut yang kini sudah berwarna hitam diikatnya ke belakang. Ayah dan ibunya yang berada dapur, tepatnya di meja makan sedang sarapan, sedikit heran dengan gelagat Laras yang tampak berseri-seri, tipikal orang yang sedang kasmaran tapi tidak kentara centil seperti remaja.

“Mau ke mana, Ras?” tanya Ibu yang sedang menyodorkan kopi ke meja tepat di hadapan Bapak. “Minggu depan hari pernikahan adikmu. Jangan aneh-aneh.”

Laras mengernyit heran. Dia tidak paham apa yang dimaksud “aneh-aneh” yang ibu katakan. Tapi kemudian ia abaikan dan segera saja menjawab.

“Jalan-jalan?”

“Sama siapa? Pacar?” tanya Ibu. Sepertinya ada harapan tersimpan bahwa itu benar dari pertanyaan Ibu.

“Bukan,” jawab Laras. “ Tapi sama duda.”

“Hah?”

Laras pun pergi meninggalkan orang tuanya yang tampak terkejut mendengar jawaban Laras. “Ras, apa maksudnya, Ras? Ibu memanggil-manggil minta penjelasan. Namun, Laras tetap berlalu hingga hilang di balik pintu. Karena khawatir, Ibu pun mengejar. Laras sudah melaju dengan mobil bekas Bapaknya ketika Ibunya sampai di teras dan masih memanggil-manggil Laras sambil mengangkat tangannya.

Sementara itu di rumah Feri.

Nadia tampak sedang bercermin di dalam kamarnya menata rambutnya, dan mengecek kembali pakaiannya. Hingga teriakan ayahnya yang memanggilnya untuk bersiap menghentikannya Anak perempuan itu langsung mengambil tas dan keluar kamar. Kemudian dia menghampiri meja di mana ayahnya sedang duduk menata keik yang sudah terpotong-potong menjadi banyak bagian ke dalam toples, yang akan menjadi bekal mereka. Melihat keik-keik itu, Nadia teringat akan sesuatu. Dia melirik pada ayahnya, ingin sekali bertanya perihal ulang tahunnya minggu depan, apakah boleh dirayakan dan mengundang teman-temannya. Sebab sebelumnya dia tidak pernah merayakannya. Akan tetapi, Nadia ragu, lalu urung bertanya.

“Sudah siap nih, masukan dalam tas.” Feri menoleh.

Nadia mengangguk. Setelah menutup toples, anak perempuan itu menuruti perintah ayahnya. Tak lama, sebuah ketukan pintu terdengar diikuti ucapan salam. Feri kemudian menghampiri pintu dan membukanya. Itu Laras. Disuruhnya Laras masuk ke dalam dan duduk di kursi tamu. Sementara dirinya masuk ke kamar untuk mengambil barang.

Nadia mengernyit saat melihat ada seorang wanita di ruang tamu bersama ayah. Laras tersenyum padanya, kemudian beranjak dari kursi tamu menghampiri Nadia. Anak perempuan itu malu-malu saat didekati, tidak paham kenapa sosok perempuan yang dia tidak kenal ada di rumahnya.

“Nadia? Saya tante Laras?” ucapnya memperkenalkan diri. Namun, Nadia bergeming. Malu dan bertanya-tanya. Dia menoleh ke arah pintu kamar ayahnya yang terbuka, berharap ayah muncul. “Saya teman ayah kamu,” lanjut Laras. Namun Nadia masih bergeming.

“Nadia, itu teman Ayah. Hari ini kita pergi jalan-jalan bertiga,” jelas Ayahnya sembari mengenakan jaket jeans. “Hari ini kita pergi naik mobil tante ini.”

“Naik mobil?” ucap Nadia antusias lalu menoleh pada Laras.

Laras mengangguk. Kemudian dia menyodorkan kembali tangannya kali ini Nadia menyambutnya. “Saya Nadia, Tante.”

“Saya Tante Laras.” Sekali lagi dia memperkenalkan diri.

“Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?” usul Feri. Dua perempuan beda usia itu menoleh padanya dan mengangguk setuju.

Nadia terlihat senang saat mengetahui dirinya akan menaiki mobil. Di sepanjang jalan gang menuju jalan raya dia berjalan sambil melompat-lompat riang. Sempat Laras melewati warung kelontong milik Mbok Sarmi yang sedang menyapa Feri dan bertanya akan ke mana dan dijawabnya dengan ramah tujuannya. Laras tersenyum, begitu pun Mbok Sarmi, meski ada kernyit di dahinya. Setelah Laras berlalu bersama Feri dan Nadia, barulah Mbok Sarmi keluar dari warung dan melihat mereka.

Butuh waktu satu jam perjalanan bagi Laras dari rumahnya di Surabaya bagian utara ke rumah Feri di Gresik bagian selatan. Dan sekarang, dirinya akan kembali ke kota Surabaya untuk mengunjungi taman bermain di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di sana.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Nadia yang duduk di depan tampak antusias melihat keluar jendela. Pemandangan yang sama sebenarnya dengan apa yang dilihat Nadia saat dibonceng menggunakan motor oleh ayah. Tetapi, kini lebih jelas dan lebih luas karena tidak terhalang badan ayahnya. Di sepanjang perjalanan, Laras yang memang mempunyai kemampuan publik speaking yang baik berhasil membuat Nadia yang pendiam bercerita tentang apa saja. Sementara Feri hanya bisa mendengarkan mereka dan mengagumi perempuan yang sedang menyetir itu.

Lihat selengkapnya