Di sebuah kafetaria rumah sakit, Laras terduduk di salah satu meja makan. Wajahnya gelisah. Berkali-kali dirinya mengambil ponsel pintarnya, membuka semua sosial media, menutupnya, meletakkannya kembali di meja, dan melanjutkan makan siangnya.
Intan yang melihatnya agak risi dengan apa yang dilakukan kakaknya itu. “Kenapa sih, Mbak?” tanya Intan saat kakaknya itu akan mengambil ponselnya lagi setelah satu suapan.
Laras melirik adiknya sebentar lalu menatap ponselnya lagi yang sudah ada di laman Facebook. “Ah, nggak.” Laras menggeleng lalu menutup ponselnya.
“Kenapa kayak yang gelisah gitu?” Dahi intan mengernyit. Tapi beberapa saat kemudian, dia menyadari sesuatu. “Oh. Mbak kepikiran Pak Feri ya?”
Sesungguhnya Laras ingin menganggapnya. Akan tetapi, apa yang dikatakan adiknya itu benar. “Iya, Tan. Biasanya dia akan unggah foto-foto bersama anaknya kalau sudah jalan-jalan. Kenapa hari ini nggak ya?” ucap Laras sambil melanjutkan makan siangnya. Dia berusaha untuk terlihat biasa saja saat mengatakannya.
“Iya, juga.” Intan menyahut. “Tapi mungkin karena istrinya, Mbak.”
“Istrinya?”
“Istrinya sudah kembali. Dia pulang tadi malam.”
“Tadi malam?”
“Iya,” jawab Intan. “Tadi pagi dia sempat cerita sama saya, Mbak. Dia tanya soal kemunculan istrinya yang mendadak itu. Katanya dia nggak menyangka.”
“Dia tanya apa?”
“Ya. Hmmm. Apakah dia harus menerimanya kembali? Kayaknya dia dilema?”
“Aneh!” hardik Laras.
“Apanya yang aneh, Mbak?”
“Sudah lama menghilang, berani-beraninya balik lagi! Kalau mbak jadi perempuan itu sih malu, Tan,” dengus Laras. Intan tersenyum geli. “Eh. Apa nggak apa-apa istrinya kembali? Kan dulu yang dia berpikir mau membunuh anaknya itu istrinya?” tanya laras, menautkan alisnya.
Adiknya mangut-mangut pelan sambil tampak berpikir. “Bisa jadi, sih. Kemungkinan itu ada,” ujar Intan. “Katanya, istrinya itu sudah menyesali perbuatannya. Semalam dia memohon-mohon pada Feri agar dia bisa menerimanya kembali,” lanjutnya. “Ah. Kayaknya kita harus tetap awasi dia, Mbak. Mungkin juga harus menawarkannya konseling lagi,” usulnya. “Tapi jangan minggu ini. Intan tidak tahu mungkin besok atau lusa Intan akan ngambil cuti buat persiapan pernikahan.”
Laras mengangguk setuju. Obrolan pun terhenti di sana. Keduanya melanjutkan makan siangnya. Saat adiknya menyinggung tentang pernikahan, Laras juga teringat pada ulang tahun Nadia yang digelar di hari yang sama, hari minggu ini. Dia ingin datang ke acara tersebut, tapi tidak mungkin juga meninggalkan acara resepsi pernikahan adiknya.
Sejenak tidak ada pembicaraan di antara mereka.
Hingga, tak lama kemudian, Intan mendapatkan notifikasi di ponselnya. Yang ternyata dari Feri. Dia pun membukannya. Sebuah foto terkirim ke ponselnya dengan tulisan di permintaan di bawahnya.