Sudah sejak seminggu sebelum hari pernikahan Intan, rumah bergaya zaman belanda dengan nuansa sedikit modern itu kedatangan penghuni baru yang akan tinggal sementara.
Mereka adalah para kerabat yang akan membantu untuk mempersiapkan pernikahan Intan yang akan digelar di sana. Intan memilih rumahnya yang memang antik dengan halaman yang lumayan luas. Rumah itu adalah warisan turun temurun dari kakeknya Laras dan Intan yang juga tempat di mana bude, pakde, dan ayahnya dibesarkan.
Sebenarnya Laras dan Intan diberikan cuti sejak hari Kamis, tetapi Laras memilih bekerja sampai hari Jumat karena sudah berjanji pada pak manajer saat mengambil cuti pada hari minggu kemarin.
Jumat malam. Ketika Laras pulang ke rumahnya, dia disambut oleh bude dan pakdenya, termasuk bude yang tinggal di Lembang di mana Laras sempat tinggal sebelum akhirnya pindah lagi dua bulan lalu. Di teras halaman rumah yang tidak terlalu luas itu mereka berkumpul dan berbincang. Laras turun dari mobil dan menghampiri mereka, mencium tangan dan kedua pipi.
Para keponakan dan sepupu juga ada di sana. Dewasa atau pun anak-anak. Bermain dan berbincang. Ada pula yang sudah tertidur di atas karpet yang digelar di tengah rumah.
Sebenarnya Laras tidak terlalu mengenal mereka semua, hanya sebagian kecil. Saat Laras masih kecil, bude dan pakdenya sudah tidak tinggal di rumah itu. Mereka ikut bersama suami atau istrinya ke luar kota, bahkan ada yang ke luar negeri. Ayah Laras yang merupakan anak bungsulah yang terakhir menempati dan menjadi tempat tinggal keluarganya sampai sekarang. Kakek dan nenek Laras sendiri sudah meninggal saat dia masih kecil. Makanya Laras atau Intan sebenarnya tidak terlalu mengenal keluarganya itu.
“Mbak nggak kenapa-napa?”
Intan muncul di balik pintu belakang saat Laras duduk di kursi halaman belakang rumah dekat dapur. Dia melihat kakaknya itu yang sepertinya sedang menghindari perkumpulan di rumahnya. Laras menggeleng untuk menjawab pertanyaan Intan.
Kemudian, Intan duduk di pagar tembok setinggi lututnya berhadapan dengan Laras.
“Keluarga kita banyak juga, ya, Mbak?” tanya Intan. Iseng saja sambil tersenyum geli.
“Iya,” jawab Laras singkat saja.
“Bude dan pakde kita banyak. Ha ha ha. Ada 6, tujuh sama ayah,” ujar Intan yang menurutnya lucu. Intan adalah cucu terakhir yang akan menikah di keluarga kakek, jadi mereka datang semua,” ucap Intan lalu tersenyum geli.
Laras pun ikut tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Karena sebenarnya sedang mencerna kata-kata adiknya barusan: “cucu terakhir kakek yang akan menikah”. Dia lalu berpikir, dirinya juga belum menikah. Apa adiknya itu sedang menyindirnya?
“Kecuali kalau mbak mau menikah lagi.”
Sekarang barulah Laras tersenyum tanpa paksa. Dia menertawakan dirinya yang pernah berpikir tidak akan menikah lagi. “Menurut kamu, apa mbak harus menikah lagi, berkeluarga?”
“Kenapa tidak?”
Laras termenung, tidak mampu menjawab pertanyaan singkat yang dilontarkan adiknya. Dia mengingat kembali kejadian sepuluh tahun lalu yang membuat kewarasannya hilang. Jauh di dalam dirinya, masih ada ketakutan pada laki-laki. Namun, itu semua sudah berlalu. Rasa trauma itu sudah terkubur dalam-dalam di dalam diri Laras. Intan berdiri menghadiri kakaknya dan mengusap bahunya. Dialah yang paling mengerti Laras.
“Mungkin aku akan menikah lagi, Tan.”
“Serius?” Nada Intan pelan seolah tidak menyangka ucapan kakaknya itu.
Laras tersenyum. “Tapi pria yang Mbak suka sudah punya istri.”
“Hah?” Intan tertawa. Dia menganggap kakaknya hanya bercanda. Tapi begitu dia menyadari, tawanya terhenti. “Oh my God! Mbak suka sama Feri? Beneran?”