Sementara itu, Feri sedang beristirahat makan siang di sebuah ruangan mes di belakang gedung bersama rekan-rekan kerjanya yang sedang menyalakan musik dangdut koplo dari ponsel. Feri terdiam di sudut ruang dengan rokok yang menyala di sela jarinya, mengabaikan rekan-rekannya yang sedang menikmati makan siangnya, atau berbincang satu sama lain.
Salah satu rekan kerjanya yang menyadari kediaman Feri, lantas bertanya. “Hei, Fer. Kenapa kamu? Melamun saja. Sudah makan siang belum?”
“Eh, saya dengar istrimu sudah kembali? Apa benar?” sambung rekannya yang lain.
Namun, Feri mengabaikannya, yang membuat mereka mengernyit heran lalu memilih mengabaikannya. Raut wajahnya muram. Hati Feri sedang diselimuti rasa kecewa yang bertubi-tubi: ulang tahun anaknya yang gagal; yang membuatnya juga berpikir bahwa anaknya itu tidak punya teman di sekolahnya; juga pada istrinya yang pergi untuk yang ke-sekian kalinya. Dan apakah dia akan kembali. Tidak! Dia tak boleh kembali! Dia perempuan itu. Dia benci semuanya.
Apakah ini adalah akibat dari dosa yang telah kuperbuat di masa lalu? Apakah aku salah memilih perempuan yang aku kenal di tempat laknat itu untuk kunikahi? Feri membatin.
Lama sekali dia termenung di sudut ruang. Wajahnya yang semula muram, perlahan berubah yang semakin lama semakin tampak murka. Seakan ingin melampiaskan kekecewaannya. Lubang di dadanya kini telah menganga kembali. Ada perempuan itu di dalamnya, jauh di dasarnya, sedang tertawa sembari menikam-nikam dinding hatinya. Pedih. Kemudian dia gegas beranjak keluar dari ruang itu setelah menghisap habis rokok yang tersisa lalu membuangnya sembarang ke tepi. Rekan-rekannya yang heran tak lantas menghiraukan.
Feri meninggalkan ruangan itu yang ramai oleh suara-suara yang menjadi pemicu bayang-bayang masa lalunya. Dia pergi untuk menuntaskan semuanya.
Saat itu juga, dengan motornya, dia melaju menuju tempat pertama kali dia bertemu dengan istrinya. Kenangan pahit itu terus menggumpal di kepalanya. Semakin besar, semakin berat, semakin tidak tertahankan. Genggamannya kuat pada stang yang membuatnya melaju lebih kencang. Dia ingin segera tiba di sana, ingin mengakhiri segalanya, menumpahkan gumpalan itu pada yang terlaknat.
“Mana istriku?” ucapnya kesal saat sudah ada di lobi. Sang penjaga mengernyit saat melihat pria berseragam pabrik itu tiba-tiba masuk. “Di mana istriku!” ucapnya sekali lagi. Kali ini lebih keras hingga menghentikan langkah orang-orang yang ada di sana.
Sang penjaga langsung menghadang. Feri semakin kesal. Dia berusaha menyingkirkan lengan sang satpam di dadanya, tetapi hadangan itu terlalu kuat.
“Minggir!” teriak Feri seraya membanting lengan itu.
“Bapak yang minggir! Maaf, bapak tidak boleh masuk jika hanya ingin mencari keributan!” tegas sang satpam.
“Saya ingin bertemu istri saya!”
“Siapa?”
“Sari,” jawab Feri yang sempat terdiam sejenak.
Sejenak sang satpam mengingat-ingat. “Tidak ada wanita yang bernama Sari di sini, Pak,” ucapnya kemudian, sambil terus mengingat.
Tak lama kemudian, seorang lelaki yang sepertinya karyawan tempat karaoke itu menghampiri mereka. Rupanya sedari tadi dia memperhatikan keributan di luar pintu masuk gedung. “Apa maksud bapak itu perempuan bernama Siska?”
Feri menoleh pada lelaki berkemeja putih rapi itu. Siska? Batinnya. Dia ingat kalau nama samaran istrinya itu adalah Siska. “Iya, Mas, dia Siska. Apa dia ada di dalam?” dengus Feri. Kemudian dia menyingkirkan tangan sang satpam dengan kasar dari dadanya. “Si mana dia? Aku ingin bertemu.” Feri beranjak masuk, tetapi sekali lagi dia dihadangnya. “Aku ingin bertemu istriku!”
Tak ada perlawanan dari sang satpam dan hanya menghadang. Mungkin dia juga bingung. Tetapi, lelaki berseragam putih itu langsung menenangkan dengan memberi tahu Feri tentang keberadaan istrinya. “Siska sudah tidak kerja di sini, Pak. Kalau tidak salah sudah tiga tahun, atau empat tahun lalu, dia pindah kerja ke Surabaya, Pak.”
“Surabaya?”
“Iya, Pak.”
“Kerja di mana?”
“Katanya sih sama di tempat karaoke juga yang merangkap club malam. Itu juga saya tahu dari temannya yang sudah keluar dari sini. Kalau tidak aalah, dia juga sering posting di instagram saat dia kerja di sana, kan. Kadang saya lihat dia posting di hotel sama pria. Mungkin itu pelanggannya. Emang bapak nggak pernah lihat story instagram-nya?”
Feri terdiam. Kekesalannya semakin menjadi. Dia menyadari bahwa selama ini apa yang dilihatnya di media sosial tentang istrinya hanya segelintir saja. Karena mungkin ada sesuatu yang dia tidak bisa lihat yang disembunyikan oleh Sari darinya, video yang mungkin lebih menjijikkan. Saat dia mendengar kata hotel, dia tahu apa yang disembunyikan istrinya selama ini. Feri masih diam tercenung.