“Kenapa ayah pulang terlambat?”
Nadia bertanya dengan pelan dan ragu. Suara air mengalir dari keran yang deras menyamarkannya. Tangan gadis itu sedang telaten membersihkan dua potong dada ayam di wastafel. Tapi sepertinya Feri mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia menoleh pada anak perempuannya itu sambil terus mengupas bawang merah di meja makan. Dia memilih untuk tidak menjawabnya, karena tidak tahu harus menjawab apa, dan membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara lalu perlahan hilang.
Tidak biasanya, kabut sunyi di dalam rumah malam itu jadi tebal. Feri tidak berbicara banyak semenjak kedatangannya, tepatnya semenjak kepulangan Laras. Bukan canggung sebenarnya yang membuat kerenggangan antara ayah dan anak itu, melainkan keadaan hati yang tak baik-baik saja. Terlalu banyak pikiran yang berkerumun di kepala Feri. Pikiran yang mengusik jiwanya. Pikiran yang membawanya pada nalar absurd itu. Napas pria itu sesekali menghembus berat dan kasar. Suaranya sengaja ditahan agar tidak terdengar oleh anaknya. Kegelisahan itu mendera kembali. Namun beruntung, semua itu bisa terlampiaskan pada bawang merah, bawang putih, kunyit, dan bahan bumbu lainnya yang sudah ia masukkan ke dalam blender dan langsung menekan tombol nomor tiga untuk menjadikannya bumbu dasar soto dengan kekuatan penuh, melampiaskan keadaan hatinya yang kacau.
Nadia terkejut. Feri menoleh padanya lalu tersenyum. Namun, anaknya itu merasakan keanehan pada ayahnya, yang tampak berbeda dari keadaan ayahnya tadi pagi. Gadis kecil itu sebenarnya menyadari bahwa ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Oleh karena itu dia ragu, bahkan untuk sekedar bertanya. Pertanyaan yang sempat terlontar tadi menjadi satu-satunya kalimat yang muncul dari mulut Nadia.
Suara mesin yang terdengar melegakan oleh jiwa feri itu harus berhenti hanya dalam tiga puluh detik saja. Setelah itu seketika hening. Bumbu berwarna kuning sudah siap ditumis. Panci berukuran sedang sudah ditaruh di atas kompor dengan minyak kelapa. Feri memasukkan semua bumbu soto langsung dari dalam wadah blender ke panci. Setelah tercium harum, barulah daging ayam yang sudah dicuci Nadia dimasukkan bersama setelah itu dua liter air, sampai potongan ayamnya tenggelam.
Nadia melangkah menuju meja makan untuk membantu ayah mengiris sayur kol sementara ayahnya masih di hadapan kompor untuk merebus empat buah telur. Pria itu sesekali melirik anaknya.
“Nadia belum mandi ya?” Feri bertanya saat berjalan menghampiri Nadia. Setelah duduk di kursi di samping Nadia, kemudian ia mengambil sisa setengah kol dan meletakkannya di wadah sayuran. Karena yang Nadia ambil dirasa sudah cukup.
“Belum,” jawab Nadia sambil mengiris sayur itu tipis-tipis memanjang.
“Dari pagi?” tanya Feri lagi, dahinya mengernyit. Nadia mengangguk. “Nadia sudah salat isya?” lanjut Feri bertanya. Gadis kecil itu menoleh pada ayahnya lalu menggeleng pelan. “Kenapa belum?” Kali ini Nadia tidak menjawab. Tidak berani menjawab. “Kalau sudah selesai, Nadia masak nasi nanti ya, satu cangkir saja. Sudah itu Nadia mandi ya, biar nanti kalau sudah makan nanti, tidurnya bisa nyenyak. Yang lain biar ayah yang mengerjakan,” ucap Feri. Nadia masih menggerakkan pisaunya saat mengangguk pelan. Sekali lagi anak perempuan itu menoleh pada ayahnya yang sedang tersenyum. Nadia menyadari ada yang berbeda dari senyumnya itu.
Setelah menanak nasi, Nadia pamit untuk pergi mandi menuruti perintah ayahnya. Feri yang sedang memasukkan ke dua potong dada ayam dari panci kuah soto ke piring untuk selanjutnya digoreng, menoleh sebentar padanya. Ketika anak perempuannya sudah masuk ke kamar mandi, Feri kemudian termenung. Ada yang terpikirkan olehnya untuk ditambahkan ke kuah soto yang sudah mendidih itu selain satu ruas jari lengkuas, satu ruas jari jahe, daun salam, satu batang serai, dan segelas air lagi. Dia melirik tas yang ada di atas meja dekat pintu masuk kamarnya kemudian menghampirinya. Sekali lagi, Feri termenung saat melihat satu plastik kemasan bergambar tikus mati kering.
Satu jam pun berlalu.
Satu set bahan-bahan soto ayam sudah ada di atas meja. Nadia terduduk di kursi meja makan menunggu Feri yang baru saja selesai mandi dan akan berganti pakaian di kamarnya. Tak lama dia keluar. Dia tersenyum saat menghampiri meja makan.
“Nasinya sudah siap?”
Nadia mengangguk. Mereka pun siap menyantap makanan kesukaan mereka berdua itu. Kecanggungan sepertinya sudah sedikit mencair. Sepasang senyum terukir di wajah ayah dan anak itu. Bergantian mereka menaruh bahan utama soto ayam itu; irisan sayur kol, bihun, suir ayam, rebus telur, dan menuangkan kuah soto yang wanginya menggoda selera. Juga tidak lupa perasan air jeruk limau yang membuat kelenjar di mulut lebih aktif memproduksi air liur yang kemudian Nadia telan. Gadis kecil itu memandangi makanannya dan melebarkan senyum. Ia siap menikmatinya.
Sementara itu di seberang meja, Feri memandangi anaknya itu dengan getir. Senyum itu melebar. Tapi bukan senyum membahagiakan, melainkan gamang. Dia terus memperhatikan Nadia yang selesai berdoa dan langsung menyantap soto ayam itu. Senyum pria itu memudar seiring dirinya yang juga mulai menyantap. Tak ada perbincangan selain pujian dari mulut gadis itu yang mengatakan sedapnya masakan yang mereka masak.
Nadia yang memang sudah menunggu momen itu sedari pagi, tampak bahagia walau tidak terungkapkan dengan bebas. Sesekali dia melirik ayahnya. Masih terasa enggan.
Ketika makan malam berakhir, Nadia yang sudah menghabiskan makanannya terdiam di kursinya. Tidak tahu apa yang dia lakukan. Hingga dia melihat ayahnya yang masih berusaha menghabiskan soto ayam itu tampak akan menangis. Air matanya jatuh. Namun, Feri berusaha menyembunyikan wajahnya dengan mengangkat mangkuk dan menyeruput kuahnya sampai habis. Ketika dia meletakkannya kembali di meja, air mata itu masih membasahi pipi.
“Ayah kenapa?”