“Badriyah … Badriyah, usia sudah tua, sakit-sakitan seperti ini masih saja nggak ada anak yang jaga dan perhatian sama kamu. Miris banget hidupmu” cerocos Barokah teman Badriyah yang sedang menjenguk Badriyah di rumahnya.
“Eh, Bu … terus kami ini siapa? Ini ada aku, Helena dan Aqil yang jaga, emang kurang Bu?” balas Meli Anak Badriyah naik pitam.
“Aslinya mau nyindir anak yang kedua itu siapa namanya?” timpal Barokah kembali.
“Vano? Apa hubungannya dengan Vano. Ia sibuk kerja di Malaysia kenapa harus dikaitkan dengan di rumah,” sahut Meli yang makin tersulut emosi.
“Makanya itu Mel, Makmu iki wes sakit-sakitan, terus Vano belum pernah melihat kondisi makmu seng sekarat iki. Cah ganteng iku juga belum nikah, emang mau jadi joko tuo di sana. Suruh pulang ae! Emang masih kurang duit yang dikirim Vano selama ini? Kalau emakmu wes mampus, baru tahu rasa Vano,” omel Barokah makin kasar.
“Astagfirullah …. Kalau ngomong mbok yo direm saitik.” Meli mengelus dadanya.
Setelah berhasil membuat panas keluarga Badriyah, Barokah pulang. Ia tidak merasa bersalah menyampaikan uneg-uneg di kepalanya. Memang diantara keempat anak Badriyah, Vano belum pernah menjenguk Badriyah. Bagaimana menjenguk orangtuanya, ia sibuk dengan pekerjaannya di sana. Bisa telepon setiap bulan saja keluarga sudah bahagia.
Sejak usia sembilan belas tahun, ia memberanikan diri untuk merantau ke Malaysia. Kepergiannya ke Malaysia untuk mengangkat drajat keluarga. Ia merelakan usia mudanya untuk bekerja keras membantu ekonomi keluarga. Bahkan di usianya yang menginjak 30 tahun, ia masih sendiri.
Beberapa hari terakhir, Vano memiliki firasat buruk. Hati dan pikirannya tidak tenang. Ia terus mondar - mandir ketika berada di mess. Yang ada di pikirannya hanya wajah Badriyah. Mendadak malam ini, Vano menelpon ibunya.
"Mak, piye kabare? Sudah lama tidak menghubungi emak," sapa Vano mengawali pembicaraan.
“Van, emak sudah sakit-sakitan, sudah tua, pulanglah Nak, kamu nggak kangen sama Emakmu? Emak sudah sakit keras. Sudah tidak mampu berjalan," ucap suara pelan Handoyo di ujung telepon.
“Emak kenapa, Pak?” balas Vano sedih.
Kabar ini membuat Vano seperti tersambar petir di siang hari. Sumber kebahagiaannya dan semangatnya, sudah tidak sekuat dulu lagi. Mental Vano jatuh. Semenjak mengetahui kabar dari kampung pikiran Vano terus tidak tenang. Waktu tidurnya mulai terganggu. Kualitas tidurnya tidak senyenyak dulu. Ia sering terbangun di pertengahan malam. Kalau sudah begini, ia sering duduk di atas kasur sembari meremas rambut ikalnya. Dadanya terasa berat untuk bernafas setiap kali ia memikirkan cinta pertamanya itu.
Vano berjalan menuju ruang tamu. Tangannya sudah meraih sebuah telepon rumah. Gagang telepon berwarna putih itu sudah berada di telinganya Vano. Jari jemarinya sudah menekan beberapa angka. Tidak menunggu waktu lama, di ujung telepon sudah ada suara wanita yang lembut sedikit serak.
“Pulanglah, jika kabar ini membuat kamu frustasi dan depresi,” ujar wanita yang ada di ujung telepon.