SURGAKU DI BAWAH TELAPAK KAKI ISTRIKU

Khoirul Anwar
Chapter #2

Perkenalan Elena dengan Camer

Setelah beberapa jam, akhirnya rombongan Vano sudah berhenti di depan rumah yang cukup besar dan luas. Sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, matanya terlihat berkaca-kaca. Sorot matanya memandang lekat rumah yang sudah direnovasi ada di depannya. Rumah itu terlihat cukup besar dan indah, dengan dominasi cat warna putih dan hitam. Vano bahkan tidak mengedipkan matanya menatap rumah impiannya.

“Ini hasil kerja kerasmu Nak, ketika kamu di Malaysia. Bapak hanya bisa mengucapkan terimakasih banyak,” sahut Handoyo menyambut anaknya dengan matanya sudah mulai sembab.

Vano terkesiap, tiba-tiba dari arah belakang Handoyo menepuk pundaknya pelan. Laki-laki yang terlihat kelelahan itu menoleh ke belakang. Anak dan bapak ini terlihat bahagia hingga ia tidak bisa menahan air matanya turun. Vano langsung merangkul tubuh Handoyo yang sudah tidak muda lagi. Tubuh ringkih Handoyo terus merangkul kuat Vano. Laki-laki yang sudah berusia tiga puluh tahun itu terus menumpahkan rasa sedih, dan bahagia di atas pundak Handoyo.

“Sehat kan Pak?” tanya Vano diselingi sebuah isak tangis.

Handoyo terus merangkul kuat anaknya tanpa menjawab pertanyaan itu. Pria yang sudah tidak muda lagi itu, mengajak Vano ke dalam rumah. Vano lupa memperkenalkan Elena pada Bapaknya. Namun, Elena mewajari apa yang terjadi. Ia nampak santai dan selalu tersenyum. Gadis cantik itu mengikuti Vano dari belakang. Jari jarinya sudah menaut dengan jari Vano yang berada di depannya.

“Ini Emakmu,” ujar Handoyo memperlihatkan kondisi Badriyah yang lemas dan pucat. 

Melihat kondisi Badriyah, rinai mata Vano tidak bisa terbendung lagi. Pipinya sudah benar-benar basah. Teriakan Vano memanggil emaknya memecah senja yang sudah mulai hening. Vano duduk jongkok dan merangkul tubuh Badriyah.

“Sudah, emak sekarang baik-baik saja kok. Tidak usah menangis begitu,” ucap Badriyah menenangkan dengan nada parau. 

Tangan Badriyah menepuk lembut punggung Vano. Sesekali Vano melepaskan pelukannya dan melihat wajah Badriyah yang pucat dan lemas.

“Emak sakit apa?”

“Emak kurang tahu sebenarnya sakit apa. Hanya saja diagnosa dari Dokter, emak menderita kelenjar getah bening,” balas Badriyah lemas.

“Ya Allah Mak,” Vano merangkul kembali tubuh lemas itu.

“Emak mau cerita ke kamu, awal emak ada benjolan ini.”

Vano membenarkan posisi duduknya. Matanya masih terlihat sembab dan merah. Ia mencari kursi untuk bisa duduk di samping tubuh Badriyah. Kini, ia duduk menghadap Badriyah. Tangan kasarnya terus memegangi punggung tangan Badriyah dan mengelus lembut. Tatapan matanya terus melihat wajah Badriyah yang sudah tidak simetris lagi. Benjolan di leher Badriyah membuat wajahnya jadi tidak karuan bentuknya.

“Awalnya emak sehat-sehat saja, bahkan emak masih bisa menjalankan rutinitas tahajud seperti biasa. Semenjak kejadian malam itu, dimana emak menunggu sholat subuh setelah tahajud sampai ketiduran. Emak bermimpi didatangi seekor sapi berwarna hitam besar dua kali lipat sapi biasanya. Matanya merah seperti marah. Tiba-tiba sapi itu berlari kencang untuk menanduk emak. Ketika posisinya mau menanduk emak, tangan emak meraih tali tampar yang yang ada di lehernya. Ketika itu emak tarik sekuat tenaga. Akhirnya sapi itu tidak bisa menanduk tapi berdiri dengan dua kaki. Sontak, emak terbangun. Ketika emak meraba leher emak, sudah ada benjolan kecil di leher emak.”

Lihat selengkapnya