SURGAKU DI BAWAH TELAPAK KAKI ISTRIKU

Khoirul Anwar
Chapter #4

Berpisah

Waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 dini hari. Elena dan Vano masih terjaga. Bola matanya masih terlihat segar. Belum ada tanda-tanda bakal ngantuk. Keduanya sedang duduk di teras menghadap jalan raya yang sudah nampak sepi. 

Tidak ada kata yang keluar dari bibir keduanya. Nampak hening seiring waktu makin beranjak pagi. Keduanya hanya saling bertatapan dengan tatapan haru. Sudut mata Elena sudah nampak menggenang air bening yang suatu waktu akan luruh.

Tangan Vano langsung menyeka sudut mata Elena sebelum buliran air itu jatuh. Meskipun demikian masih belum ada kata yang keluar dari keduanya. Nampaknya keduanya sudah tahu bakal apa yang terjadi kedepannya. 

“Gimana?” tanya Vano memecah keheningan yang sudah berlalu lama.

“Apanya gimana Bang? Sudah jelaskan semuanya.” Sorot mata Elena memandang lekat Vano yang ada di sampingnya.

“Ini berat bagiku,” timpal pendek Vano.

“Memang berat, tapi Abang harus mengambil jalan itu. Aku sudah tidak ada jalan lagi,” air mata Elena mulai luruh. Suaranya menjadi lirih.

“Maafkan Abang.”

“Jangan ada kata maaf dalam keputusan ini. Memang kita tidak ditakdirkan dalam seiya dan sekata dalam ikatan pernikahan, Bang.”

Kedua bola mata pasangan itu sudah mulai basah dan memerah. Elena menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Punggungnya naik turun diiringi sebuah tarikan lendir yang keluar dari hidung mancung Elena. 

Vano hanya merebahkan tubuhnya di sofa. Sudah berapa batang rokok yang sudah dihabiskan untuk menggantikan rasa frustasi yang menjeratnya. Helaan demi helaan nafas dalam ia lakukan untuk menahan tangisnya pecah di tengah malam ini.

“Apa hubungan ini tidak bisa dipertahankan sayang?” tanya Vano begitu frustasi.

“Coba, Abang tanya diri Abang. Apa sanggup meninggalkan orang tua Abang? Aku juga begitu Bang, aku anak pertama. Kondisi Mamakku juga sudah sepuh,” timpal Elena.

Terjadi kebuntuan lagi di antara keduanya. Hening, sepi dan dingin mulai menyelimuti dua insan yang sedang dilanda nestapa itu. Bunyi detak jam tangan Vano semakin menggema. Suara berkokok ayam jantan sudah mulai terdengar di penjuru desa.

“Mari kita akhiri hari ini, Bang. Sudah pagi. Habis ini bakal banyak warga yang akan sholat subuh,” Elena sudah berdiri dari tempat duduknya.

“Aku nggak bisa, bisa kah kita kembali di masa kita baru ketemu?” Vano hanya duduk dan menggelengkan kepalanya.

Lihat selengkapnya