“Sudah Bang, kita akhiri saja pembicaraan ini. Bukan ranah kita menentang kehendak Tuhan,” ujar Elena lelah.
“Aku janji, akan meyakinkan Bapak dan Emak. Kamu tunggu sebentar lagi,” Vano meyakinkan Elena yang sudah menyerah dengan keadaan.
Vano meraih tangan Elena. Beberapa kali Vano mencium lembut tangan Elena sambil posisinya duduk. Namun, wanita cantik itu tidak percaya Vano. Bukan karena Vano suka berbohong akan tetapi Elena tahu betapa sayangnya Vano pada kedua orangtuanya. Wanita itu sudah tahu bakal terjadi seperti apa. Omongan Vano hanya sebuah pemanis bibir tapi jadi racun dalam hubungannya.
Elena menyentak keras tangan Vano hingga terlepas. Tanpa berbicara Elena melangkah ke dalam rumah. Baru beberapa langkah, tubuh kecilnya dihentikan dengan sebuah dekapan dari belakang.
“Jangan pernah tinggalkan aku, Len? Aku harus bagaimana agar kamu mau bertahan dengan ku,” ujar Vano yang sudah tidak bisa menahan tangisnya.
Vano semakin memeluk erat tubuh Elena dari belakang. Ia terus meyakinkan gadis pujaannya itu. Namun, sikap Elena sudah mantap untuk meninggalkan Vano.
“Regangkan pegangan Abang!” pinta Elena pelan.
Laki-laki yang sudah frustasi itu mulai merenggangkan pegangan tangannya. Elena sedikit demi sedikit membalikkan tubuhnya dalam rangkulan Vano. Sehingga posisi wajah Elena hanya sejengkal dari wajah Vano.
“Aku mo …”
Jari telunjuk Elena sudah menempel di bibir Vano. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. Tatapan sayu Vano membuat Elena menangkupkan ke wajah Vano. Garis simetris sudah terulas di wajah Elena meskipun nampak dipaksakan wanita itu.
“Bang ….”
Elena menghela nafas dalam-dalam sebelum berbicara. Ia juga menyeka air matanya yang luruh kembali. Wanita yang baru dikenal Vano selama delapan bulan itu terus memandang sendu pria yang ada dihadapannya.
“Bang, lepaskan Elena. Adik mohon pada Abang. Hidup Abang akan lebih barokah kalau ikut keputusan orangtua. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika pilihannya begini. Abang tidak salah, Abang bukan pembohong, Abang bukan ingkar janji, namun semua ini karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk dipaksakan untuk bersama. Ini terakhir kali aku memohon pada Abang. Ikhlaskan aku untuk pergi. Carilah pendamping yang bisa merawat kedua orangtua Abang dan patuh sama Abang.”
Sedikit demi sedikit pegangan Vano makin melemah. Seiring dengan tubuhnya yang makin lemas dan terjatuh ke bawah. Pandangannya nanar. Ia hanya bisa melihat Elena pergi menuju kamar. Kedua tangan Vano meraup wajahnya. Ia mengepalkan tangan kanannya setelah itu ia hantamkan ke lantai keras.
***
“Mbak Elena kenapa matanya bengkak? Habis nangis kah Mbak? tanya Helena polos sambil menyapu lantai rumah.