Sosok yang ditunggu oleh Elena tidak segera kunjung hadir di tengah kepulangannya. Wanita muda itu terus melihat ke belakang. Namun, tetap saja tidak ada yang datang. Pandangannya ia alihkan ke depan lagi. Sembari terus menghirup udara dalam-dalam, Elena bertekat untuk pergi. Meskipun, laki-laki yang ditunggu belum menampakkan diri di hadapannya.
“Aku bangunkan Mas Vano ya mbak? celetuk Helena yang seakan tahu perasaan Elena sekarang.
“Enggak perlu Dik, biarkan mas Vano istirahat. Jangan diganggu.” timpal Elena.
Setelah dinanti cukup lama dengan berbagai alasan. Akhirnya Elena pergi seorang diri naik angkutan umum ke Bandara Juanda. Wajahnya terlihat murung. Kesempatan terakhir melihat Vano ternyata tidak tercapai. Senyum getir menemani Elena dalam kepergiannya.
“Bapak sehat-sehat ya. Salam buat Emak.” Elena segera memasuki mobil angkutan umum.
Elena melambaikan tangannya di dekat jendela. Dibalas lambaian tangan seluruh keluarga Handoyo. Elena memberikan senyum manis terakhir kalinya pada keluarga Vano. Beberapa detik kemudian mobil yang mengangkut Elena sudah tidak terlihat lagi.
Handoyo mengajak anak-anaknya kembali ke rumah. Sorot mata keluarga Handoyo terbelalak. Mereka terdiam membeku sementara sosok yang dilihatnya saat ini. Laki-laki yang ditunggu dari tadi, sudah duduk di depan rumah dengan meremas rambut ikalnya. Ia berteriak histeris.
“Sudah, tidak ada yang perlu ditangisi di sini. Elena daritadi nungguin kamu bangun tapi kamu tidak bangun-bangun,” sahut Mila mendatangi Vano yang sedang duduk frustasi.
“Kenapa kalian tidak membangunkan aku?” timpal Vano dengan nada meninggi.
“Mas, kita tadi sudah mau bangunkan Mas Vano tapi sama Mbak Elena tidak diperbolehkan,” balas Helena dengan wajah sebel.
Sejak kehilangan Elena dalam hidupnya, Vano lebih suka murung dan pendiam. Ia tidak banyak berinteraksi dengan keluarga besarnya. Rokok menjadi sahabat barunya sebagai bentuk pelampiasan permasalahan yang ada. Aktivitasnya hanya berkutat pada kamar dan tempat ngopi saja. Tidak banyak ia lakukan buat masa depannya. Ia hanya menghabiskan uang yang didapatkan dari kerja di Malaysia.
Setelah enam bulan sepeninggalan Elena, hidup Vano berangsur membaik. Bayangan Elena yang setiap harinya mengganggu, kini mulai pendar dan pudar perlahan. Ia sudah mulai bisa tersenyum dan tertawa di tengah keluarga. Bahkan Vano sudah mulai berinteraksi dengan Bapak dan Ibunya kembali. Di pagi hari, ia sudah menyapa emaknya yang sedang terbaring lemas. Untuk pertama kalinya Vano menyuapi Badriyah.
“Kamu sudah baikan Van?” Badriyah tersenyum ke arah Vano.
“Maaf kan Vano ya Mak, Vano tidak bisa jadi anak sholeh dan berbakti kepada Emak dan Bapak.”
“Sudah, tidak usah bicara begitu. Bagaimanapun Vano anak emak yang terbaik, sholeh dan berbakti,” ujar Badriyah sembari mengelus pipi Vano.
Laki-laki yang sedang mengenakan kaos putih bergambar band dari luar negeri itu berada di dalam kamar Badriyah cukup lama. Rasa kangen membuat keduanya menumpahkan pada hari ini. Keduanya saling ngobrol dan bercerita. Setelah dari kamar Badriyah, Vano berada di ruang tamu seorang diri. Kepulan asap sudah membumbung tinggi di langit-langit rumah Vano. Ia menjatuhkan tubuhnya ke badan Sofa berwarna biru.
Ia terus menghisap hingga puntung rokok itu berguguran di lantai. Hari semakin panas, Fahmi yang sedang dinanti Vano belum kunjung datang. Rencananya kedua orang ini akan datang ke rumah yang sudah memesan pijat ke Fahmi.
“Mas, cari kerja sana. Sudah hampir enam bulan lo, mas Vano di rumah tidak kerja.” sindir Helena.
“Iya, Mas Vano tahu kok. Habis ini juga ikut Juragan Zein,” balas Vano yang masih menikmati sebatang rokok di tangan kanannya.
“Ya sudah kalau gitu, dilihat tetangga, gawe rasan-rasanan tok Mas Vano,” tambah Helena kesal.
Helena kesal bukan karena Vano. Akan tetapi omongan tetangga yang bikin hatinya terbakar. Bagaimana tidak emosi, hampir setiap waktu para tetangga terus saja menghina saudaranya. Tidak jarang para tetangga meremehkan Vano dengan kata-kata yang tidak pantas. Sebagai adiknya ia menjadi garda terdepan membela buat kakaknya.
“Kenapa sih kalian sewot, keluarga besarnya juga tidak ada yang ruwet seperti kalian,” bela Helena dengan nada tinggi.
“Yeay, kita kan ngomong kebenarannya. Kenapa kamu panas” balas Surti tetangga yang paling julid dan resek.
Kalau sudah begini, Helena langsung buru-buru tarik nafas dalam-dalam. Ia juga memperbanyak istighfar dan langsung masuk ke dalam rumah. Biasanya pintu rumah Helena akan jadi sasaran amukannya dengan mendorong keras pintu hingga tertutup.
“Kamu kenapa sih? Kok marah enggak jelas begitu,” tegur Mila mendengar pintu ditutup dengan kencang.