SURGAKU DI BAWAH TELAPAK KAKI ISTRIKU

Khoirul Anwar
Chapter #6

Senyum Manis

Sosok yang ditunggu oleh Elena tidak segera kunjung hadir di tengah kepulangannya. Wanita muda itu terus melihat ke belakang. Namun, tetap saja tidak ada yang datang. Ia memalingkan wajahnya ke depan kembali. Ia memantapkan hatinya untuk pulang meskipun hatinya dilanda kehancuran.


“Aku bangunkan Mas Vano ya mbak? celetuk Helena yang seakan tahu perasaan Elena sekarang.


“Enggak perlu Dik, biarkan mas Vano istirahat. Jangan diganggu.” timpal Elena.


Setelah dinanti cukup lama dengan berbagai alasan. Akhirnya Elena pergi seorang diri naik angkutan umum ke Bandara Juanda. Wajahnya terlihat murung. Kesempatan terakhir melihat Vano ternyata tidak tercapai.


“Bapak sehat-sehat ya. Salam buat Emak.” Elena segera memasuki mobil angkutan umum.


Elena melambaikan tangannya di dekat jendela. Dibalas lambaian tangan seluruh keluarga Handoyo. Elena memberikan senyum manis terakhir kalinya pada keluarga Vano. Beberapa detik kemudian mobil yang mengangkut Elena sudah tidak terlihat lagi.


Handoyo mengajak anak-anaknya kembali ke rumah. Sorot mata keluarga Handoyo terbelalak. Laki-laki yang ditunggu dari tadi, sudah duduk di depan rumah dengan meremas rambut ikalnya. Ia berteriak histeris.


“Sudah, tidak ada yang perlu ditangisi di sini. Elena daritadi nungguin kamu bangun tapi kamu tidak bangun-bangun,” sahut Mila mendatangi Vano yang sedang duduk frustasi.


“Kenapa kalian tidak membangunkan aku?” timpal Vano dengan nada meninggi.


“Mas, kita tadi sudah mau bangunkan Mas Vano tapi sama Mbak Elena tidak diperbolehkan,” balas Helena dengan wajah sebel.


Sejak kehilangan Elena dalam hidupnya, Vano lebih suka murung dan pendiam. Ia tidak banyak berinteraksi dengan keluarga besarnya. Rokok menjadi sahabat barunya sebagai bentuk pelampiasan permasalahan yang ada. Aktivitasnya hanya berkutat pada kamar dan tempat ngopi saja. Tidak banyak ia lakukan buat masa depannya. Ia hanya menghabiskan uang yang didapatkan dari kerja di Malaysia.


Setelah enam bulan sepeninggalan Elena, hidup Vano berangsur membaik. Bayangan Elena yang setiap harinya mengganggu, kini mulai pendar dan pudar perlahan. Ia sudah mulai bisa tersenyum dan tertawa di tengah keluarga. Bahkan Vano sudah mulai berinteraksi dengan Bapak dan Ibunya kembali. Di pagi hari, ia sudah menyapa emaknya yang sedang terbaring lemas. Tangannya sudah mulai menyuapi makan emaknya.


“Kamu sudah baikan Van?” Badriyah tersenyum ke arah Vano.


“Maaf kan Vano ya Mak, Vano tidak bisa jadi anak sholeh dan berbakti kepada Emak dan Bapak.”


“Sudah, tidak usah bicara begitu. Bagaimanapun Vano anak emak yang terbaik, sholeh dan berbakti,” ujar Badriyah sembari mengelus pipi Vano.


Vano berada di ruang tamu seorang diri. Kepulan asap sudah membumbung tinggi di langit-langit rumah Vano. Tubuhnya, ia jatuhkan di badan Sofa berwarna biru itu. 

Ia terus menghisap hingga puntung rokok itu berguguran di lantai. Hari semakin panas, Fahmi yang sedang dinanti Vano belum kunjung datang. Rencananya kedua orang ini akan datang ke rumah yang sudah memesan pijat ke Fahmi.


“Mas, cari kerja sana. Sudah hampir enam bulan lo, mas Vano di rumah tidak kerja.” sindir Helena.


“Iya, Mas Vano tahu kok. Habis ini juga ikut Juragan Zein,” balas Vano yang masih menikmati sebatang rokok di tangan kanannya.


“Ya sudah kalau gitu, dilihat tetangga, gawe rasan-rasanan tok Mas Vano,” tambah Helena kesal.


Lihat selengkapnya