"Ehem … “ deheman suara berat itu berasal dari dalam rumah.
Suara mengagetkan itu ternyata keluar dari mulut Pak Yudi. Ini sebagai kode agar tidak melakukan hal yang tidak diinginkan. Vano semakin menunduk ke bawah karena menjaga pandangannya. Ia tahu Rahma bukan tipe wanita seperti di luaran sana. Ia berbeda dengan wanita yang lain. Pak Yudi memerintahkan istrinya untuk menemani Rahma di ruang tamu agar tidak bersama yang tidak muhrim. Tanpa bertanya, Ajeng langsung menuju ruang tamu.
“Silahkan diminum, Nak?” Ajeng mempersilahkan Vano setibanya di ruang tamu.
Vano terus menundukkan pandangannya. Tangannya meraih air mineral gelas dingin di depannya. Ia langsung membasahi tenggorokannya yang sudah mulai kering kerontang.
“Ah …” reflek Vano setelah air dingin itu membasahi tenggorokannya. “Maaf!” sambung Vano penuh dengan penyesalan.
Terdengar suara kekehan tawa pelan keluar dari bibir Rahma. Vano hanya bisa melirik sekilas ke arah Rahma. Mendapat perhatian dari orang yang tidak muhrimnya, ia pamit pada ibunya untuk kembali ke kamarnya.
Dengan sopan dan anggun, Rahma melintasi ibunya yang duduk paling ujung. Vano yang mengetahui Rahma berjalan di depannya melirik dikit. Namun keterusan hingga iris matanya mengikuti Rahma pergi tanpa berkedip. Gelagat Vano diketahui Ajeng.
“Van, halo …” Ajeng berusaha menyadarkan Vano dari lamunan.
“Enggeh!” sahut spontan Vano tanpa melihat tuan rumah yang ada di depannya.
“Apanya yang iya, ingat aku berada di depanmu bukan di ujung sana,” tegur Ajeng.
Mengetahui mendapatkan ledekan dari Ajeng, Vano langsung memperbaiki posisi duduk dan matanya. Rasa penasaran menggelayut di pikiran Vano. Bibirnya mulai gemetar ketika dirinya ingin bertanya mengenai Rahma. Melihat tingkah Vano, Ajeng tertawa kecil.
“Sudah santai aja Van, enggak usah grogi begitu. Mau tanya apa?” Ajeng siap menjawab pertanyaan yang diajukan Vano.
“Eh … eh … begini Bu, apa Dik Rahma sudah ada yang khitbah?” Vano makin gemetaran bibirnya.
“Kamu nanya ya? Atau mau mengkhitbah?” timpalnya sambil gurau.
“Bukan begitu, a..ku … cuman nanya aja,” pandangan Vano masih ke bawah tidak berani melihat sejajar dengan Ajeng.
Tidak berselang lama Fahmi datang. Sesi pijat pun sudah berakhir. Buliran keringat sudah menggantung di dahi Fahmi. Begitu juga dengan kaos warna coklatnya sudah basah dengan keringat. Fahmi langsung duduk di samping Vano. Tanpa dikomando Fahmi langsung meraih air mineral yang ada di depannya. Sedetik kemudian air mineral gelas itu langsung habis.
“Silahkan dimakan hidangannya Nak Fahmi dan Vano!” Ajeng mempersilahkan kembali.
Fahmi melirik Vano dan memberi kode untuk menikmati hidangan yang di depannya. Namun, Vano tidak mengerti kode yang diberikan Fahmi sehingga ia hanya mengedikkan bahunya saja. Saking lama tidak ditanggapi Vano, Fahmi langsung mengambil beberapa wafel untuk mengganjal perutnya yang sudah kelaparan.
“Kamu lapar atau kesurupan?” bisik Vano.
“Biarin, wong lesu og!” timpal Fahmi cengengesan.
Dari dalam rumah, Pak Yudi berjalan kepayahan. Laki-laki paruh baya yang belum memakai baju hanya memakai sarung saja itu langsung memberikan uang ke Fahmi setibanya di ruang tamu. Vano langsung berpamitan pada tuan rumah karena hampir dua jam ia di sana.
Vano clingak-clinguk melihat ke dalam rumah. Ia berharap Rahma akan mengantar nya pulang. Fahmi yang tidak tahu menahu sempat bengong sekilas melihat tingkah Vano.
“Cari Rahma, Vano?” tanya Ajeng.