“Apakah yang disuka Mas Vano itu Rahma?” celetuk Helena mengingat sesuatu.
“Iya mungkin. Ada apa Dik? Apa ada sesuatu yang Mbak tidak tahu? Kan Mbak juga belum tahu betul orang-orang sini. Mbak kan baru balik dari Malaysia juga,” timpal Mila sedikit ada rasa penasaran.
Memang selama ini Mila bekerja di Malaysia hampir 15 tahun di sana. Ia juga memiliki suami yang masih tinggal di Malaysia. Sekarang Mila balik ke kampung karena alasan orangtuanya sakit dan sudah capek kerja di perantauan. Ia mau membesarkan anaknya di kampung. Jadi selama ia di kampung merasa asing dengan perubahan yang ada.
“Kepo kan? Hehehe …” ledek Helena yang mengembalikkan nasehat dari Mila.
Helena mengajak Iqbal dan Mila lebih merapat lagi. Agar yang ia bicarakan tidak terdengar di telinga Vano. Sebuah lingkaran kecil sudah tersusun, sambil duduk Helena bercerita mengenai hal yang berkaitan dengan Rahma. Helena mendapat kabar ini dari berbagai sumber; teman, tetangga, bahkan Badriyah mengetahui ini. Manik mata Mila terlihat membelalak. Ia menggigit bibir bawahnya. Wanita yang sudah beranak satu itu masih mendengarkan dengan baik. Ia mulai menggelengkan kepalanya.
****
“Mbak, aku mau ngopi dulu sama Fahmi,” izin Vano ke Mila setelah sarapan pagi.
“Hati-hati, ingat jangan nyantol sama wanita yang salah lagi!”
Vano berhenti sejenak, ia mau mengkonfirmasi kembali apa yang disampaikan Mila barusan. Hanya saja, Mila bersikap tidak terjadi apa-apa. Ia hanya mengulangi kata hati-hati saja tidak dilanjutkan bagian belakangnya.
Dengan menggunakan kaos hitam, dan celana pendek jeans, Vano berangkat ngopi. Ia berjalan kaki seorang diri. kurang lebih 20 meter dari halaman rumahnya, para tetangga yang suka julid sudah menatap tajam Vano yang sedang melewati kumpulan emak-emak.
“Kok bisa dari Malaysia, bukannya cari kerja lagi malah nganggur di rumah. Padahal Emaknya sakit keras butuh biaya,” sindir salah satu tetangga.
Vano mendengar apa yang dikatakan para tukang gosip itu. Ia mencoba tidak menghiraukan mereka, namun semakin dibiarkan pembahasannya makin panas dan tajam. Telinganya terasa panas dengan suara-suara sumbang yang ia dengar.
Vano membalikkan tubuhnya, berjalan menuju kumpulan emak-emak. Ia diam sejenak sambil memindai satu-satu yang ada di sana. Hidung mancungnya menarik udara untuk mengisi rongga dadanya yang sudah mulai sesak.
“Lanjut lagi dong ceritanya, sepertinya menarik banget.”
“Eh Joko tuwone Bu Badriyah, maaf ya!” celaan Bu Surti.
Emak-emak yang di sebelahnya merasa bersalah. Ia menyenggol pelan tubuh Surti tapi ia cuek dan masih menatap nyalang ke arah Vano. Emak-emak yang lain hanya menundukkan pandangannya.
“Maaf ya Nak, biasa emak-emak di pagi hari begini biar tidak stress,” bela Sumi yang sudah terlihat ketakutan.
Vano mengepalkan jari-jarinya. Wajahnya sudah merah seperti kepiting rebus. Gigi gerahamnya sudah mengait dan berbunyi. Helaan nafas dalam-dalam berkali-kali Vano lakukan.
“Semoga Allah memaafkan kalian, dan tidak terjadi pada keluarga kalian yang jelek-jeleknya,” jari telunjuk sudah menunjuk tepat di wajah Surti.
Seketika Vano langsung pergi. Tubuhnya langsung berbalik arah dan melanjutkan perjalanannya kembali. Untuk membuang rasa emosinya di dalam hati, ia memukul angin yang tidak berwujud itu. Sambil teriak kencang.
Vano sudah duduk sendiri di depan sebuah toko listrik. Ia duduk jongkok dengan melipat kedua dengkulnya. Wajah melasnya ia letakkan ke dengkul sembari membuang nafas sebanyak-banyaknya. Kedua tangannya ia letakan dijadikan bantal wajahnya.
“Van, kenapa?”