Vano mencoba melepaskan pegangan Badriyah. Namun, Badriyah tetap menahan tubuh Vano dengan tangannya.
“Sabar, ya Nak! Biarkan aja Mbok Surti ngomong. Maklum sudah tua,” Badriyah memberi pengertian pada Vano dengan kondisi wajahnya makin pucat.
“Aku sudah nggak bisa sabar lagi Mak. Mbok Surti ini sudah merendahkan keluarga kita dari dulu,” sergah Vano emosinya sudah memuncak.
“Iya Emak tahu, tapi sabar itu yang utama daripada meladeni orang seperti mbok Surti. Pahala sabar itu besar Nak, cuman tidak semua orang bisa.”
Ego Vano mulai melemah setelah Badriyah terus menasehati tanpa lelah. Vano menghela nafas dalam-dalam sebelum berjalan menuju jalan raya. Dengan rasa menahan emosi, Vano meninggalkan wanita paruh baya itu sendiri di bawah langit masih keabu-abuan.
Tangan kanan Vano melambai ke arah angkutan umum. Beberapa menit kemudian mobil berwarna merah itu berhenti tepat di depan Vano. Karena masih pagi buta mobil itu masih sepi penumpang. Vano dan Badriyah duduk di depan dekat sopir. Kepala Badriyah sudah di senderkan ke bahu Vano. Lama kelamaan mata Badriyah terasa berat sehingga tidak perlu waktu lama sudah tertidur pulas.
“Ibumu sakit apa? Kok ada benjolan besar di lehernya,” tanya Sopir yang sempat melirik sekilas kondisi Badriyah.
“Aku juga nggak tahu Pak, kata emakku awalnya baik-baik saja. Setelah kehadiran mimpi yang menyeramkan akhirnya muncul benjolan itu. Awalnya kecil sih pak, terus lama kelamaan jadi begini,” terang Vano.
“Lho … lho kok aneh begitu ya! Tapi kalau tinggal di jawa mah sudah biasa,” celetuk sopir.
“Iya Pak, emang Jawa masih kental dengan ilmu hitam. Pak ada kenalan kah orang-orang pintar? Mau aku rutinin berobat medis dan alternatif.”
“Kebetulan Mas, aku punya kenalan orang Kyai yang bisa menyembuhkan begini,” Sopir itu langsung memberi alamat kyai itu ke Vano.
Semenjak Vano mengetahui emaknya dikirim teluh, ia lebih aktif mencari orang pintar. Ini bagian dari ikhtiarnya membantu agar Badriyah segera sembuh dari komplikasi yang dideritanya. Hatinya terasa perih seperti disayat sembilu di saat ia menatap wajah emaknya yang tertidur di pundaknya.
Kini Badriyah dan Vano sudah di sebuah terminal untuk berganti transportasi umum Bus. Seperti biasa Badriyah terus memegang kuat tangan Vano. Laki-laki yang masih single itu melirik orang di sebelahnya, dipandanginya lekat. Ia langsung memberhentikan langkahnya untuk beristirahat sebentar. Awalnya Badriyah menolak. Ia lebih memilih melanjutkan perjalanan lagi. Namun, Vano melihat Badriyah sedang menahan rasa sakit yang tidak diberitahukan padanya. Ia mulai menelisik tempat yang bisa dijadikan untuk istirahat. Netranya menangkap warung yang ada di hadapannya. Keduanya melangkahkan kakinya ke sana. Namun, respon yang diterima Vano tidak mengenakkan.