Wajah Vano dan Fahmi tersembur air yang sudah dibacakan do’a oleh Kyai.
“Sialan …” dumel kesal Vano.
“Uasem rek, bau lagi,” kesal Fahmi.
Seketika makhluk ghoib yang mengikuti keduanya lenyap. Vano sibuk meraup air semburan itu dengan telapak tangannya. Fahmi harus menggunakan kaos warna coklatnya untuk membersihkan sisa-sisa air yang ada di wajahnya.
“Aku sudah tahu kedatanganmu kemari, Nak” celetuk Parto dengan lantang.
“Kok sudah tahu, padahal kita belum ngomong apa-apa ya,” bisik Fahmi terheran-heran.
“Lha itu kan memang keahliannya. Kalau tidak begitu berarti orangnya dipertanyakan ilmunya,” timpal Vano dengan suara pelan.
Parto mempersilahkan Vano dan Fahmi duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu. Warnanya sudah jadi coklat dan halus permukaannya. Sebelum Vano duduk di kursi yang disediakan, sorot matanya sudah kemana-mana. Ia sedikit terdiam karena dekorasi rumahnya seperti halnya rumah biasa, bukan yang menyeramkan seperti di film-film.
Vano sudah duduk tepat di hadapan Parto. Tangannya ditaruh di atas meja dan disilangkan seperti para pelajar. Manik-manik matanya terus menatap mata dan gerak bibir Parto. Ia mendengarkan dengan khidmat.
“Ibumu itu orang baik, Nak. Orang yang mengirim santet ke ibumu masih ada tali saudara diantara kalian. Motifnya adalah karena harta dan warisan,” terang Parto matanya dipejamkan.
“Siapa Kyai yang ngirim?” tanya penasaran Vano.
Parto mendekati tubuh Vano. Dengan membungkukkan tubuhnya, bibirnya menuju indera pendengarannya. Ia membisikkan sesuatu nama ke Vano. Matanya terbelalak mendengar nama yang tidak asing itu. Mulutnya menganga beberapa menit.
“Enggak mungkin Kyai,” kepala Vano menggeleng cepat.
“Peyan boleh percaya atau tidak, tapi dalam gambaran batinku, sangat jelas ia yang melukai keluargamu.” tambah Parto membalikkan badannya menuju kursinya.
Laki-laki yang sudah berumur 70 tahun itu membuat perjanjian pada Vano. Kyai itu berjanji akan datang ke rumah Vano tiga hari ke depan untuk membersihkan buhul yang ada di rumahnya. Laki-laki paruh baya itu memberikan persyaratan untuk keluarga Vano untuk menyediakan sebuah tumpeng nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya. Kyai itu juga menekankan pada Vano agar anggota keluarganya tidak diperbolehkan tidur semalaman di saat proses pembersihan tempat.
Vano menyanggupi perjanjian itu dengan menjulurkan tangannya. Selanjutnya ia berbalik badan untuk pulang ke rumah kembali. Bersama Fahmi, keduanya menuju ke motor yang diparkir. Masih di ambang pintu, Fahmi berbalik arah dan mendekati orang tua itu.
Fahmi hanya membalikkan badan dan terdiam. Ia hanya menggaruk kepalanya saja tanpa bertanya.
“Ayo pulang, sudah selesai,” ajak Fahmi setelah ia menyampaikan hajatnya pada Parto.
“Ada apa sih, kok nggak ngomong-ngomong dulu,” dumel Vano.