“Mohon maaf Bu, aku belum bisa kasih jawaban,” Balas Vano penuh hati-hati.
“Van, disegerakan ya nak, izin ke orangtuanya biar Rahma ada kepastian,” ucapnya penuh harap.
“Van, insyaallah mbak Rahma ini baik-baik saja. Nggak perlu khawatir dan cemas kondisi kedepannya bagaimana. Tinggal kamu yang ambil keputusan melangkah,” tambah Kyai Parto meyakinkan.
“Enggeh Kyai, ini tinggal izin Emak aja.”
Fahmi dan Vano sedang dalam perjalanan pulang. Di kepala Vano sedang berpikir bagaimana cara meyakinkan Badriyah, karena hanya tinggal restu dari Badriyah yang belum didapatkan.
“Kamu diam kenapa dari tadi?”
“Ini, lagi memikirkan bagaimana caranya meminta restu dari Emak,” balas Vano pelan.
“Semoga diberikan restu dari Emakmu Van, biar kamu lega dan segera nikah,”
****
Dalam waktu sepuluh hari yang lalu sampai sekarang, Vano masih belum memberanikan dirinya untuk meminta restu pada ibunya. Sedangkan ia selalu didesak oleh Fahmi dan Bu Ajeng. Sayangnya kondisi Badriyah semakin hari bukan semakin membaik. Benjolan dulu yang tumbuh di leher, kini tumbuh lagi di payudar* nya.
Vano semakin hari semakin takut untuk meminta izin. Sejalan dengan kondisi benjolan dan kondisi kesehatan Badriyah yang semakin kritis. Tubuh Badriyah kembali lemas dan pucat seperti sebelum dioperasi. Pengobatan pun terus dilakukan dengan berbagai macam alternatif tapi hasilnya nihil sama saja bahkan makin parah. Badriyah pasrah, wajahnya selalu menangis. Ia selalu berdoa’ semoga ia bisa kembali sembuh dan sehat seperti dulu kala.
“Pak, pasango gigi palsu. Biar nanti ada yang tertarik sama Bapak,” ujar Badriyah sambil tersenyum.
“Nggak Bu, sudah tua. Aku sudah nggak ada keinginan menikah lagi. Aku mau hidup sama anak-anakku saja!” balas Handoyo pelan.
“Nanti kalau aku sudah nggak ada, nikah lagi aja biar bapak ada yang merawat,” sambung Badriyah empat mata.
“Sudah tidak usah dibahas lagi, emang Ibu mau mana? lha masih sehat begini kok ngomong ngelantur.”
Handoyo mendekap kuat tubuh kecil istrinya. Ia memiliki firasat jika barusan adalah wasiat Badriyah agar dirinya bahagia setelah peninggalan Badriyah. Namun, sayangnya cinta Handoyo dan kesetiaannya akan selalu ada meskipun jiwa dan raga Badriyah sudah tidak ada di dunia.
Laki-laki paruh baya itu keluar dari kamar agar tidak semakin sedih. Meli, Helena dan Vano melihat Handoyo mengusap rinai air matanya yang sudah tumpah di kulit keriputnya.