Pernikahan Vano tidak terasa sudah memasuki bulan ke enam. Sebagai seorang istri, ia sangat menginginkan buah hati dari rahimnya. Namun, nyatanya Allah masih belum memberikan titipan anak dari kandungannya.
“Sayang, maaf ya masih belum memberikan buah hati buat Sayang,” ujar Rahma sedih.
“Sudah sayangku, tidak usah dipikirkan. Santai aja sayang. Aku juga tidak terlalu menuntut kamu untuk segera punya momongan,” balas Vano lebih santai dan sabar tanpa emosional.
“Tapi banyak orang yang nuntut dan ngomongin kita Sayang. Aku sebagai istri jadi malu,” timpal Vano sambil menaruh kepalanya di dada Vano.
“Kamu nggak perlu mendengarkan nyinyiran orang Sayang, jadilah wanita apa adanya, jadi dirimu sendiri,” nasehat kembali keluar dari bibir Vano sembari mengelus rambut Rahma.
Keduanya baru ingat jika hari ini mereka akan berkunjung ke rumah Pak Handoyo. Hampir satu bulan penuh keduanya tidak kunjung ke sana. Kebetulan juga Handoyo berada di rumah setelah pergi melaut sekitar satu Minggu.
Rahma memutuskan untuk pergi ke pasar untuk membeli bingkisan buah-buahan dan sembako bagi mertuanya. Ia minta diantarkan Vano. Laki-laki itu hanya menunggu Rahma di samping jalan dekat parkiran.
Kini, Vano sudah menuju ke rumah Handoyo. Pria yang sedang mengenakan pakain koko berwarna hitam, dipadukan dengan celana kain hitam. Sedangkan Rahma mengenakan busana syar'i yang berwarna senada dengan Vano. Sepasang kekasih ini selalu menunjukkan keromantisannya. Seperti biasa keduanya jalan kaki dan saling bergandengan tangan erat sekali.
“Duh, buat apa romantis-romantis begitu kalau tidak punya anak. Jadi istri harus malu dong belum bisa kasih momongan ke suami,” celetuk mbok Surti yang selalu menjatuhkan mental Rahma.
Rahma sudah terbakar emosi dengan omongan mbok Surti. Ia mau memarahi balik namun Vano tidak membiarkan hidupnya berdosa karena wanita tua ini. Vano menggelengkan kepalanya pelan ke arah Rahma.
“Sudah biarkan aja, nggak perlu ditanggapi. Dari dulu memang begitu mulutnya yang tidak bisa mengolah kata dengan baik.” sebuah gelengan kepala pelan dari Vano.
"Jadi gini Mbok ...." ucapan Rahma tersekat di tengah-tengah.
"Sudah Sayang .... " ujar Vano dengan senyum lebar.
Pasangan istri itu membalikkan badan dan tidak menanggapi Mbok Surti. Selanjutnya, Rahma dan Vano melanjutkan perjalannya yang sempat terhenti. Baru dua langkah, mbok Surti malah tidak terima jika ia didiamkan. Ia malah bertingkah dan memaki-maki.
“Dasar mandul, dasar mandul tidak punya anak!” hinaan yang terlontar dari bibir Surti yang sudah keriput yang sudah bau tanah.
Rahma melepaskan genggaman tangannya. Ia berbalik arah dan memutar tubuhnya ke wanita tua itu. Dengan wajah yang sudah terbakar emosi, ia mendatangi orang yang sudah menghinanya.
“Nek, mending mulutnya dibuat mengucapkan kata istighfar saja. Ingat umur yang sudah sepuh. Tidak baik untuk menghina orang terus.”
“Biarin, mulut-mulut siapa? Terserah aku mau buat apa mulutku ini,” sentak balik ke Rahma.
Kedua kelopak yang awalnya putih bersih, kini mulai mengembun air mata di ujung. Matanya menjadi merah, dan nafas Rahma jadi pendek-pendek.