Penantian Rahma untuk memiliki momongan satu tahun lebih belum menghasilkan. Kondisinya semakin murung. Wajahnya penuh dengan tekanan. Ia lebih memilih di dalam kamar daripada berinteraksi dengan warga sekitarnya. Vano sudah memberikan banyak nasihat pada istri tercintanya ternyata masih sama saja.
“Sayang, kalau kamu begini terus, maka impian kita memiliki momongan akan sirna. Kamu setiap hari merasa tertekan terus menerus, sedangkan Dokter menyarankan kita untuk lebih tenang dan stabil jiwanya,” ujar Vano yang duduk di samping istrinya yang sedang berbaring di kamar.
“Gimana mau santai, setiap hari pasti ada aja yang tanya kok belum hamil, mandul ya? Siapa nggak sakit hati digitukan sama orang yang tidak dikenal,” dumel Rahma yang kondisi emosinya mulai tidak stabil.
“Dari dulu, aku dah bilang kan, jangan pernah dengarkan omongan orang karena belum tentu orang yang nasehatin itu orang yang suka sama kamu,” balas Vano menekankan omongannya.
Vano langsung mengajak Rahma ke rumahnya. Di sana ada Arif yang bisa menghibur Rahma. Sejak dari dulu Rahma suka sama anak kecil, sehingga obsesinya untuk memiliki anak terlalu ambisius. Dengan kondisi sekarang, belum memungkinkan Rahma akan mengandung.
“Ayo ke rumah Mbak Meli aja! Bangun dan dandan dulu,” anak Vano.
“Ketemu sama Arif ya? Yo .. ayo…” ujarnya semringah
Rahma begitu bahagia dan antusias bakal ketemu dengan ponakannya yang berusia enam tahun. Nama Arif selalu keluar di bibirnya.
“Rahma itu kenapa Van?” tanya Ajeng merasa terkejut dengan perubahan Rahma.
“Biasa Bu, lagi senang mau ketemu sama Arif ponakannya.” balas Vano yang ada di ruang tamu sembari menunggu Rahma.
“Kenapa kalian tidak punya momongan sendiri saja?” balik tanya.
“Bu, kita sudah berusaha sampai kita ke dokter kandungan agar memiliki anak. Tapi apa yang terjadi di rumah ini, setiap hari Rahma ditanya sudah mengandung belum, bla … bla... Bu, tahu enggak Bu, Dokter menyarankan agar Rahma rileks, tenang dan jangan dibebani dengan program hamil. Tapi apa yang terjadi di sini, kalau tidak Ibunya, Adiknya, pamannya, ini yang membuat Rahma semakin tertekan,” balas Vano sedikit terpancing emosi.
Emosi ini sudah dipendam berbulan-bulan sama Vano. Bukannya Vano tidak menasehati mertuanya, bahkan hampir setiap hari tapi ya tetap aja keluarga Rahma bebal diberitahu. Sekarang Vano mengeluarkan uneg-unegnya agar mertuanya berpikir kembali. Ia merasa lega bisa mengutarakan dengan sedikit emosi bukan dengan kata-kata lemah lembut yang biasanya ia katakan ke mertuanya.
Dari kejauhan Rahma sudah melihat Arif sedang bermain di teras sendirian. Wajahnya terlihat semringah, dan bahagia. Ia langsung berlari menuju anak kecil yang sedang bermain mobil-mobilan.
“Anakku sayang!” pekik Rahma sambil memeluk Arif kuat.
Arif sempat memberontak dan menangis. Namun, Rahma terus memeluk dan mencium pipinya. Meli yang melihat itu mendekati Arif.
“Dik, biarkan Arif main dulu, jangan dipeluk erat begitu, kasian tidak bisa nafas,” ujar Meli pelan.
“Ih, apaan sih Mbak Meli ini, Arif kan anak kandungku. Aku yang mengandung dan melahirkan, kenapa Mbak Meli melarang mencium anakku,” ucap Rahma dengan sedikit emosi.
Selama ini kedekatan Arif dan Rahma begitu dekat. Hampir setiap Rahma diajak Vano ke rumahnya selalu bermain dengan Arif secara wajar dan normal. Keduanya bisa menghabiskan dari pagi sampai sore hanya bermain dan bercanda. Bahkan Rahma sering memandikan Arif dan menggantikan baju. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dari sikap dan ucapan Rahma.
Meli diam sejenak mencoba mencerna apa yang dikatakan Rahma barusan. Beberapa menit kemudian ia baru sadar apa yang barusan dikatakan oleh Rahma bukan dari Rahma. Ia kemudian mencoba mengambil Arief namun Rahma makin kuat memegangi Arif. Anak kecil itu menangis ketakutan dan kesakitan.