Di saat banyak orang sedang istirahat siang. Rahma terbangun, ia mulai mengerjapkan matanya pelan-pelan. Setelah nyawanya kembali pada raganya. Wanita itu langsung berlari keluar. Tidak ada seorang pun yang tahu kemana Rahma pergi. Vano masih beristirahat di ruang tamu, tidur di sofa. Sedangkan Ajeng istirahat di kamar.
Sela beberapa menit, seorang tetangga panik. Ia terus mengetuk pintu rumah Ajeng. Tidak ada yang dengar di dalam karena pada tidur semua. Wanita itu langsung merangsek masuk meskipun belum diizinkan tuan Rumah. Ia melihat Vano sedang tidur di sofa. Dengan sopan wanita itu menepuk pelan tubuh Vano sambil memanggil nama Vano. Seketika Vano terbangun dan terkejut ada orang di depannya.
“Mas Vano, Rahma kenapa? Kok di sekolahan TK ia berteriak sendiri, nangis sendiri,” celoteh tetangga samping kanan rumah Rahma.
“Iya kah Bu?” Vano panik.
Laki-laki itu mengambil sarung untuk menutupi auratnya karena ia hanya menggunakan celana pendek. Setelah itu ia langsung pergi menjemput istrinya yang sudah berteriak-teriak.
Vano maju beberapa langkah untuk memperkenalkan dirinya. Karena Rahma saat ini dalam kondisi tidak mengenali siapapun.
“Jangan mendekat kamu, jangan rebut anak ini! Ini kan anak yang lahir dari rahimku!” pekik Rahma yang bertingkah punya anak.
“Sayangku, ini Vano suamimu. Ayo pulang! Jangan kluyuran sendiri,” ajak Vano dengan suaranya yang lembut.
“Aku nggak mau pulang, aku nanti hamil lagi. Capek tahu suruh hamil mulu,” nyerocos Rahma makin tidak jelas.
Dari kejauhan Ajeng sudah berlari mendekati Vano dan Rahma. Wajahnya terlihat panik dan cemas. Matanya juga sudah merah dan meneteskan air mata.
“Vano, gimana kondisi Rahma?”
“Lihat sendiri saja bagaimana,” balas Vano sedikit geram.
“Maafkan ibu,” sesalnya meratapi kejadian menimpa anaknya.
“Telat Bu, ini harus dibawa ke Dokter Spesialis Kejiwaan,”
Ajeng terdiam meratapi nasib anaknya yang kembali begini. Sebaliknya Vano terus mengajak Rahma pulang. Namun, tetap sama Rahma memberontak dan memukuli dada Vano. Perlahan tapi pasti Rahma mulai sedikit tenang jiwanya. Ia sedikit mengenali sosok orang di depannya.
“Sayang, kenapa ada di sini?”
“Kamu kenapa ada di sini?” tanya balik Vano.
“Tadi ada yang ngajak aku keluar anak kecil yang keluar dari perutku. Aku kira itu anakku,” jawab Rahma berhalusinasi.
“Nanti kalau diajak lagi jangan mau ya, bilang aja, cepek begitu!” sambung Vano yang mencoba masuk dunia Rahma.
Kini Rahma tidur kembali di kamarnya. Terlihat wajahnya letih. Setelah menemani Rahma tidur, Vano menuju ruang tamu. Di sana sudah ada Ajeng yang terus menangis.
“Sudah jangan menangis lagi Bu, fokus sama pengobatan Rahma lagi.”