Keesokan paginya, Vano dan Ajeng mengantar Rahma ke rumah sakit. Awalnya kondisi Rahma tenang dan bisa diajak komunikasi. Setelah ia melihat anak kecil berlari, ia ikut berlari mengejar anak kecil itu. Rahma berhasil menangkap anak kecil itu namun anak kecil menangis histeris.
Semua panik karena Rahma tidak mau melepaskan pelukannya pada anak kecil itu. Vano berulang kali membujuk Rahma untuk melepaskan, sebaliknya ia makin kuat pegangannya.
“Ini anakku namanya Adam. Jangan kalian mengambil anakku dari tubuhku,” ujar Rahma keras.
“Rahma, itu bukan anakmu Nak, lepaskan. Kasian orangtuanya nangis lihat anaknya,” bujuk Ajeng.
“Bu, Mas kalau punya pasien ODGJ jangan dicampur sama orang normal. Jadi begini kan?” celetuk pengunjung rumah sakit emosi.
“Maafkan kami, ini istriku. Rencananya mau aku periksakan karena ini baru awal ia bersikap begini, jadi kami tidak menyangka bisa begini, maaf!”
Setelah ditunggu beberapa menit masih belum membuahkan hasil. Pihak rumah sakit kemudian meminta security dan perawat untuk menyuntikkan obat penenang ke tubuh Rahma. Vano yang melihat itu tidak tega bahkan sempat meneteskan air matanya. Tubuhnya harus dipegang dua orang lebih dengan kasar. Untuk menyuntikkan ke tubuh, Rahma memberontak kuat. Sampai akhirnya obat penenang itu masuk ke tubuh Rahma dengan cara sedikit tidak manusiawi.
Vano dan Ajeng sekarang berada di ruangan Dokter Spesialis Kejiwaan. Keduanya disarankan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa agar mendapatkan pantauan dan kontrol dari perawat.
“Kalau memang begitu Bu, maka kami sepakat untuk membawa ke RSJ yang ada di Malang,” ucap Vano menyepakati
“Nak terus Bapak gimana Nak?” tanya Ajeng pada Vano.
“Ibu bilang sejujurnya aja, apa yang terjadi selama ini,” saran Vano.
****
Pagi masih terasa dingin, Namun Vano sudah berada di luar dengan tidak memakai baju di rumahnya. Ia berada di teras rumah sambil merokok dan kopi.
Selama Rahma dirawat di RSJ, Vano sering pulang dan tinggal di rumahnya. Kebiasaan yang dulu tidak merokok kini terulang kembali. Awalnya Meli sangat melarang dan marah sama Vano kembali ke setelan bujang, namun ia melihat kondisinya yang stress melihat kondisi istrinya jadi ia memaklumi.
Vano terus membumbung kan asap rokoknya ke atas. Pria ini masih belum sarapan pagi tapi rokok dan kopi sudah tidak terhitung. Begitu cepatnya ia menghabiskan rokok dalam waktu beberapa menit.
“Kalau kamu sudah putus asa, ini Lo ada pisau, langsung aja tusukkan di perutmu biar selesai semua,” sindir Meli yang melihat adiknya frustasi.
“Apa sih Mbak …. ”
“Kamu kalau sudah tidak bisa menjaga kesehatan tubuhmu, wes ga usah kamu sakiti dengan merokok terus menerus. Jangan merepotkan keluargamu lagi, kalau kamu sakit.”
Vano menghembuskan nafas besar. Ia terdiam sambil memikirkan kerja dunia itu bagaimana. Sambil memainkan rokoknya ia terus terdiam.