Setelah mendengar Rahma didiagnosa ODGJ, Yudi orangtua Rahma selalu jatuh sakit terus-terusan. Daya imunnya seakan makin hari makin lemah. Banyak orang beranggapan jika Yudi terus memikirkan masa depan anaknya tapi ia tidak bisa mengekspresikannya bagaimana sebagai Ayah. Selama ini hubungan Yudi dan Rahma bagus dan harmonis, tapi jarang banget keduanya berkomunikasi.
Kali ini Yudi sedang berbaring di kamar tidur karena tensi darah tingginya naik. Ia tidak bisa melakukan aktivitas apapun. Emang sudah sejak malam Yudi merasakan badannya kurang fit. Baru pagi ini, Ajeng memeriksakan suaminya takut terjadi apa-apa.
Rencana Vano tadi malam akan memberitahu pada Yudi dan Ajeng kalau Rahma besok bisa dijemput. Namun, kondisi yang tidak memungkinkan melibatkan mereka jadi Vano yang berangkat sendiri menyusul Rahma di Malang.Tiga bulan bukan waktu singkat bagi Vano menunggu istrinya. Ia terus memimpikan Rahma hadir di kehidupannya lagi.
Suasana hati Vano sangat berbahagia. Ia mendapatkan kabar baik ini dari temannya yang nomornya dicantumkan di daftar tamu. Setelah beberapa bulan nomer teman Vano dihubungi RSJ karena Rahma dinyatakan berangsur membaik. Mendengar kabar ini, Vano berkali-kali mengucap syukur atas kepulangan Rahma. Vano seorang diri sejak pagi buta berangkat menuju ke Malang. Dalam perjalanan ia terus membayangkan Rahma. Sehingga seringkali ia tersenyum sendiri tanpa sebab.
“Dokter Yosi, mau jemput Isteri,” sapa Vano bahagia.
Dokter yang sedang menggunakan pakai kebesarannya itu hanya senyum saja. Ia terus mempersilahkan Vano untuk duduk terlebih dahulu dan berbincang. Yosi paham dengan kondisi Vano yang wajahnya dari tadi terlihat senyum semringah. Ia juga turut bahagia bisa melihat seorang laki-laki yang masih sayang dengan istrinya meskipun banyak kekurangan.
“Pak, sebelum Rahma pergi. Mau nitip pesan, jadi sayangi Rahma seutuhnya. Jangan berkurang sayangnya pada Rahma. Dengan kasih sayang dan perhatian ini akan membuat Rahma setiap hari semakin membaik,” pesan Yosi pada Vano.
Vano hanya mengangguk pelan. Ia sangat optimis dengan perkataan Yosi jika ia sanggup menjaga tanggung jawab. Beberapa menit kemudian Rahma datang dengan menggunakan jilbab syar'i berwarna merah maroon. Sudut bibir Rahma sudah membentuk kurva yang menawan.
“Sayang!” pekik Rahma dengan nada bergetar.
“Ayo pulang, sudah cukupkan sekolahnya di sini?”
Pasangan suami istri itu terus berpamitan ke seluruh penghuni asramanya. Rahma terus menggandeng tangan Vano dan memainkannya naik turun seperti dulu.
“Aku berdoa sama Tuhan, semoga pasangan di depanku ini selalu diberi kelanggengan pernikahannya. Suaminya terlihat begitu sayang dan mencintai. Suaranya lembut dan berwibawa seakan ia tidak pernah memarahi istrinya,” bisik Dokter Yosi pada penjaga yang lain.
“Bener banget Bu, aku juga salut sama cowok yang memperlakukan istrinya begini,” timpal perawat yang lain.
Vano dan Rahma sekarang berada di bus antar kota. Keduanya memilih duduk paling belakang. Keduanya bisa melihat pemandangan sawah dari bus. Wajah lega terpampang di wajah Vano. Rahma merebahkan wajahnya di pundak Vano sambil menikmati hembusan angin siang yang membuat kelopak matanya berat untuk bertahan.
Dalam hitungan menit, mata Rahma tertidur. Tangan kasar Vano sudah mengelus lembut pipi putih Rahma. Barangkali Rahma susah tidur di sana, sampai lelap di pundak Vano. Di bawah kelopak mata Rahma terlihat menghitam tapi sedikit pudar. Sepanjang perjalanan Vano begitu bahagia karena di sampingnya ada istri tercintanya.
Perjalanan Vano sudah mulai dekat dengan rumahnya. Ia sudah turun dari angkutan umum dan berjalan berdua sama Rahma. Namun, sepanjang Vano melangkah ada tatapan yang aneh dari para tetangga. Vano khawatir jika Rahma tidak diterima di kampung ini lagi. Pikiran itu terus muncul, ia juga menepisnya dengan pikiran positif sesegera ketika ketakutan itu muncul.