Rahma semakin hari semakin menjadi-jadi. Kadang ia menjadi anak kecil, wanita tua, kadang seorang bapak-bapak. Sikapnya sudah tidak bisa dikontrol lagi. Saking stress dan depresinya Vano kembali mempercayakan pengobatan Rahma pada Dukun. Orang pintar ini berdalih jika tubuh Rahma sudah dikuasai jin.Vano percaya, karena apa yang disampaikan orang pintar itu terjadi pada Rahma. Karena Vano terdesak ingin segera istrinya cepat sembuh, ia membawa ke dukun tersebut. Di sana Vano mendatangi rumahnya. Di dalam ia diberi mantra untuk diberikan ke Rahma dan ditempel di rumah-rumahnya untuk melindungi gangguan jin yang dikirim.
Tauhid yang dulu melekat pada keduanya, seakan luntur dengan ujian Tuhan. Hampir setiap minggu, kalau pulang melaut ia pergi ke rumah orang pintar itu. Setiap pulang ia dibawakan sebuah air botol penuh yang berisi jimat tulisan arab untuk diminumkan isterinya.
Vano tidak hanya berhenti di orang pintar saja. Pengobatan tidak dilakukan pada satu orang saja. Mulai dari Kyai, Medis, hingga Dukun. Semua pengobatan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan keduanya harus rela tinggal di sebuah pesantren dengan durasi waktu berminggu-minggu. Harapan Vano melakukan ini semua untuk istrinya sembuh namun Allah belum berkehendak.
Vano sedang bermain di rumah Handoyo. Ia seperti biasa hanya menghabiskan waktunya untuk merokok dan minum kopi. Pandangannya terus kosong. Meli yang melihat Vano lelah merasa iba.
“Sudah Mas, kalau sudah tidak sanggup kembalikan ke keluarganya. Kenapa kamu harus bersusah payah mengobati kalau tidak sembuh-sembuh,” ujar Meli berempati.
“Jangan bilang begitu mbak, nanti usahaku sia-sia. Aku masih berusaha untuk menyembuhakannya sampai kapanpun hingga istriku dinyatakan sembuh."
"Terus sampai tua begitu kamu akan mengobati?" Tanya Meli gusar.
"Kalau Allah berikan umur panjang ke aku, kenapa tidak!"
Dari dalam Handoyo keluar sambil minum kopi. Ia menghela nafas dalam-dalam sebelum ia berbicara Vano. Ia duduk di samping Vano yang menghadap jalan. Wajah laki-laki terlihat sedih melihat kondisi Vano. Tangan kanannya sudah mengalung di pundak Vano sembari. menepuk pundak Vano pelan
“Nak, selama ini usahamu tidak pernah berhasil bukan karena kamu tidak berusaha tapi ada alasan lain …”
“Alasan apa Pak?” Vano penasaran dengan perkataan bapaknya yang terpotong.
“Alasan lain yaitu karena kamu sudah tidak mendengarkan nasehat emakmu. Kamu masih ingat kan, apa yang dikatakan Emakmu?”
Vano beristighfar sekeras-kerasnya. Ia menundukkan kepalanya sambil menggeleng. Kelopak matanya sudah mulai basah dengan air mata. Pikirannya seakan sedang tayang masa lalunya yang begitu angkuh tidak menghargai pesan terakhir orang tuanya.
“Terus bagaimana pak?”