“Ya keluarga besarnya harus kompak membuat Vano meninggalkan Rahma,” Farida tetep ngotot.
“Sudah Mbak, tapi emang mas Vano begitu nggak bisa dinasehati,” bela Helena.
“Gini aja bawa Vano ke orang pintar agar dirinya lupa dengan Rahma. Lama kelamaan kalau aku nyebut nama Rahma jadi eneg,” timpal Farida sinis.
Tiba-tiba Vano datang seorang diri. Ia kembali ke rumah Handoyo ingin meminjam beberapa uang ke Kakaknya.
“Mbak ada uang kah? Aku mau pinjam buat menitipkan Rahma ke RSJ lagi mbak atau Ponpes buat khusus orang gila. Kondisinya, makin hari makin jadi - jadi. Aku yang mau kerja nggak bisa karena harus jaga terus,” ujar Vano memelas.
Farida yang tidak ada kepentingan langsung nyerocos dan tidak berhenti terus menyalahkan Vano.
“Masalahmu berakhir ketika kamu ikhlas meninggalkan Rahma, wanita gila aja masih dipegangin. Nggak ada wanita lain kah? Mumpung kamu masih lima tahun, tubuhmu masih kekar, masih banyak wanita yang mau kalau kamu duda,” nyerocos Farida.
“Bukan masalah itu, ini sudah ujian Allah berikan. Kalau kita nggak sanggup kita nggak naik kelas. Misal gini kalau keluargamu ada yang seperti Rahma terus ditinggalkan suaminya, perasaanmu gimana?” Vano membalikkan argumentasi dengan logika yang ada.
“Ya …. Ga gitu …” ujar Farida tersekat tidak bisa menjawab.
“Ya seperti itu, jadi manusia itu punya hati biar tidak semena-mena. Kalau musibah ini diberikan ke keluargamu, apa yang bisa kamu lakukan,” ujar Vano mengulangi perkataannya dengan tegas.
Farida pergi pulang karena memang ia tidak bisa menjawab. Wajahnya terlihat marah dan kecewa. Vano terdiam sambil membuang nafas yang sesak di hatinya. Ia memang sudah terbiasa dengan hinaan dan cacian yang menjatuhkan mentalnya selama lima tahun terakhir.
****
Kondisi Handoyo semakin hari semakin memburuk. Pemicu memburuknya kesehatan Handoyo karena ia memikirkan kehidupan Vano yang dianggap terlalu berat dengan ujian dan cobaan yang bertubi-tubi seakan tidak ada habisnya.
“Pak sudahlah nggak usah memikirkan mas Vano terus, sekarang memikirkan kesehatan diri sendiri lebih penting, anak-anakmu sudah besar, bisa ngurus sendiri,” ujar Meli menasehati.
Enam bulan terakhir, Handoyo sudah didiagnosa stroke ringan. Ia berhenti total segala urusan pekerjaan. Urusan kebutuhan makan dan mandi, Handoyo dirawat sama Helena dan Aqil. Kedua anaknya yang mengurusi kebutuhan makan Handoyo dan memandikan. Dengan tidak ada pekerjaan membuat ia jadi khawatir dan cemas mengenai masa depan anaknya.
Handoyo tidak mendapatkan perlakuan pengobatan layaknya Badriyah. Ia hanya mendapatkan perawatan dari dokter Puskesmas terdekat. Tepat satu tahun setelah didiagnosa Handoyo menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggal di tengah anak-anaknya berkumpul semua. Raut kebahagian terpancar di akhir hidup Handoyo yang melihat anaknya hidup rukun berdampingan.
“Jaga rasa kekeluargaan, jaga kekompakan jangan sampai satu keluarga putus hubungan karena masalah sepele. Sepeninggalan bapak nanti Vano harus bertanggung jawab dengan keputusan yang dipilih,” pesan terakhir Handoyo di tengah anak-anaknya mendampingi dirinya menghadapi sakaratul maut.
Selama ini Handoyo tidak pernah ikut campur dengan urusan Vano. Ia tidak pernah berkata jelek atau menjelekkan menantunya. Laki-laki itu membiarkan Vano untuk bertanggung jawab, sejauh mana yang pernah terlontar dari bibirnya. Bahkan para tetangga pada mengusik kehidupan Vano, Handoyo tidak pernah bersuara.
Ketika pemakaman Handoyo, Rahma keluar dari rumahnya. Ia menjadi pusat perhatian kembali para takziah di rumah Vano. Rahma berpenampilan hanya mengenakan pakaian babydoll selutut dan sebahu. Tanpa ada jilbab di rambutnya.
“Aku sekarang lagi hamil lo Pak? Hehehe. Tapi jangan bilang-bilang, nanti diambil orang,” ia berujar sama seseorang tak dikenal.
Keluarga besar Vano tidak sempat mengurusi Rahma karena sibuk mengurusi jenazah dan menyambut para takziah. Farida yang sudah melihat dari kejauhan sudah ngomel-ngomel tidak jelas.