Sudah dua Minggu Vano tidak bekerja. Kini, ia berada di sebuah pondok khusus orang gila yang ada di sebuah kecamatan yang terpencil. Berbagai macam usia dan jenis kelamin sedang terapi di dalam pondok itu. Vano tidak merasa sendiri. Ada beberapa orang sepertinya bahkan orang tua sedang menunggu anak-anaknya sembuh.
Hati Vano terasa teriris ketika manik - manik matanya menangkap seorang anak yang masih berumur belasan tahun masuk di ponpes ini. Hatinya bergerak untuk mendekati pemuda itu. Wajahnya murung. Sorot matanya teduh lebih ke kosong.
“Aku Vano, adik siapa?” tanya Vano pelan dan sopan.
“Aku nggak mau ketemu sama kamu, habis ini kamu akan menghajarku. Berhenti kau menelanjangi diriku.” anak muda ini sudah mengepalkan tangannya dan tinggal melayangkan bogemannya.
Vano bergerak mundur karena sorot matanya sudah tajam. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. Seorang petugas mendekati Vano dan memberitahu agar tidak berinteraksi dengan pasien.
“Pak, lain kali jangan pernah mengajak interaksi para pasien ya! Kita tidak tahu emosi yang ada di dalam tubuh mereka.” ujar pegawai yang bertugas.
“Ma’af Pak atas kekhilafanku.” Sesal Vano.
Di saat Vano sedang santai menikmati kopi, kebetulan ia berkenalan dengan salah orang tua satu pasien. Ternyata orangtua ini adalah ayah dari pasien yang masih muda tadi. Keduanya berbincang mengenai alasan kenapa mereka ada di sini. Vano tercengang karena anak muda itu jadi ODGJ dikarenakan aksi pembullyan yang didapatkan sejak masih SD sampai SMP.
Kejadian pembullyan pada Adit, nama anak muda tadi tidak pernah diketahui orangtuanya. Adit lebih cenderung berdiam diri dan menutup diri di kamar. Tidak ada interaksi keluarga dengan Adit. Setelah pulang dari sekolah, ia langsung masuk kamar dan tidak pernah keluar kamar.
Kedua orangtuanya baru tahu ketika Adit suka memukul dinding kamarnya dan suka berteriak histeris sendiri. Ketika dibawa ke Dokter Spesialis Kejiwaan, Dokter mengatakan jika orangtuanya sudah telat membawanya. Kehidupan orang tuanya hancur seketika ketika Adit didiagnosis mengalami gangguan mental. Harapan pada anak semata wayangnya jadi sirna.
Vano bisa merasakan apa yang dirasakan ayah Adit. Karena Vano juga mengalami hal yang sama. Dunia Vano hancur berkeping-keping, ketika Rahma didiagnosa gangguan mental. Vano menghela nafas panjang. Dari kejauhan ada seorang pegawai memanggilnya. Tanpa bertanya, Vano langsung menuju pegawai tersebut. Ia langsung diarahkan menuju kantor pimpinan. Manik matanya melihat sebuah papan yang bertuliskan kantor kepala ponpes. Tangannya sudah mengetuk pelan pintu di depannya. Sebuah suara sambutan hangat dan sopan terdengar di dalam ruangan. Vano dipersilahkan untuk duduk.
“Pak, Bu Rahma kondisinya sudah mulai stabil dan kondusif. Ia juga bisa berinteraksi dengan pegawai dan orang lain. Beberapa hari ke depan Rahma bisa pulang,” ujar Kepala Ponpes.
Vano bahagia mendengar kabar bahagia ini. Wajahnya sudah terlukis sebuah senyuman lebar dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Terimakasih Pak, atas bantuannya dan pengobatannya,”
“Izin memberi pesan, selalu jaga Bu Rahma, tetap sayangi dan perhatikan. Memang berat menjaga dan melindungi orang yang mengidap begini, namun jadikan ini sebagai ladang bagimu untuk terus memanen pahala dunia akhirat.”
“Insyaallah, amanah ini akan selalu aku ingat Ustadz. Memang berat tapi benar yang dikatakan pak Ustadz kalau niatnya cari pahala di sini banyak yang bisa didapatkan,” ujar Vano sembari tersenyum simpul.
****
Rahma sudah berada di rumah Meli. Beberapa hari ini Rahma dan Vano tinggal di rumah Meli. Rahma sudah kembali normal. Wanita yang sekarang memakai abaya hitam itu sudah bisa membantu kakak iparnya masak. Ia juga bisa diajak interaksi layaknya orang normal.
Farida yang dari kemarin selalu mengintai rumah Meli, terus sinis. Tidak ada kata baik buat Rahma di mata Farida. Apa yang dikerjakan Rahma selalu salah di matanya.