Setelah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Ibu Dokter Iin sudah mengetahui hasilnya. Sebuah senyum lebar ditunjukkan ibu Dokter itu. Vano terus menenangkan Rahma dengan memegang tangannya. Rahma terus menjatuhkan pandangannya ke bawah.
“Bapak Vano dan Bu Rahma. Mohon maaf sebelumnya ya. Untuk hasil pemeriksaannya, tidak ditemukan janin yang berkembang di rahim Bu Rahma bahkan sel telur tidak ditemukan sama sekali di kandungan Bu Rahma,” kata Dokter yang membuat Vano terpukul kembali.
“Terus perutnya kok besar kenapa Dok?” tanya Vano yang tidak paham dengan bidang kedokteran.
“Perutnya Bu Rahma membesar ada kemungkinan bahwa itu hasil dari banyaknya makan, sehingga lemak-lemak mengumpul. Boleh saya bertanya Pak?”
Vano mengangguk pelan ke arah Dokter.
“Apa Bu Rahma sedang mengkonsumsi obat-obatan setiap hari?”
“Iya Dok,” balas Vano.
“Barangkali itu salah satu penyebab kenapa Bu Rahma belum dikarunia seorang anak. Kondisi rahim panas sehingga menyebabkan sel telur tidak bisa berkembang dengan subur di dalam rahim,” jelas Dokter Kandungan.
Vano dan Rahma hanya terdiam, bibirnya terkunci rapat. Matanya sudah sembab dan merah. Rahma merasa dirinya bukan seorang wanita sempurna di dunia ini. Suaminya langsung meraih tangan Rahma. Jari jemari Vano sudah memberikan sentuhan lembut ke punggung tangan istrinya. Sesekali tatapan Vano mengarah ke wajah Rahma yang sedang menunduk.
“Dok, apa kemungkinan kita tidak bisa memiliki anak?” tanya Vano memelas.
Dokter Iin hanya tersenyum tanpa berbicara. Senyum itu sudah memberitahu jawaban kepada Vano.
“Tidak ada yang tidak mungkin Pak, silahkan dicoba terus aja pak. Jangan pernah berhenti dan lelah berharap sama Allah. Kehidupan, Rezeki dan jodoh semua ada di tangan Allah. Kita manusia hanya bisa berharap dan berusaha. Allah yang mengabulkan dan berkehendak.” nasehat Dokter sebelum sesi konsultasi berakhir.
Vano dan Rahma berjalan menuju pulang. Perkataan Dokter Iin tadi membuat pikiran Rahma terganggu. Ia terus mengingat apa yang dikatakan dokter kandungan. Wanita itu selalu merutuki dirinya sendiri. Ia merasa gagal bisa menjadi seorang wanita dan istri yang sempurna.
Sesampainya di rumah, Rahma menunjukkan sikap yang berbeda. Vano sudah bisa melihat gelagat yang tidak biasa dari orang normal. Rahma langsung menuju kamarnya. Vano mengikuti Rahma dari belakang karena bakal terjadi sesuatu. Wanita itu sudah melepas hijabnya. Selanjutnya tangannya sudah membuang make up yang ada di nakas. Hanya menyisakan sebuah lipstik merah. Tangannya meraih benda kecil itu dan langsung mengulas di bibir kecilnya. Pipinya juga dihiasi merah-merah.
“Sudahlah sayang, tidak apa-apa kok. Kalau kita tidak diberikan momongan.” Vano menggenggam tangan Rahma.
“Aku mau menikah lagi, aku mau pergi jauh ke sana,” sahut Rahma dengan nada suara anak kecil.
“Sadarlah sayangku, kamu mau buat suamimu ini menderita lagi?” timpal Vano memelas.
“Aku tidak peduli, aku mau punya anak lagi.”