Vano mendorong pintu kamar tidurnya. Sebelum masuk ke dalam kamar, ia menghela nafas panjang. Laki-laki itu berjalan mendekati tubuh istrinya yang terlelap tidur. Pandangannya terus menuju ke istri tercintanya. Ia memilih tempat duduk yang dekat dengan wajah Rahma. Selanjutnya ia duduk di sampingnya.
Laki-laki -laki sabar itu hanya diam memandangi Rahma. Jari jemarinya sudah menyentuh lembut wajah Rahma. Sambil jarinya mengelus, rinai air matanya tumpah sendiri.
“Maafkan Mas, belum bisa menyembuhkanmu. Aku merasa bersalah karena belum maksimal mengobatimu,” gumam Vano sembari air matanya terus luruh.
Air mata itu jatuh di pipi Rahma. Seketika jari Vano menyeka air mata itu. Vano menggigit bibir bawahnya sembari terus menahan tangisnya agar tidak pecah. Kelopak matanya terus memandang lekat wajah polos Rahma.
Tiba-tiba ada panggilan telepon. Ia terkesiap dengan dering yang muncul tiba-tiba. Ia menyeka air matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Tangannya merogoh saku celananya dan meraih gadget yang baru dimilikinya. Ia tatap layar hp itu, ternyata nomer baru.
“Halo!” sapa seorang wanita di ujung telepon.
Vano terdiam, mencoba mengingat suara yang tidak asing di telinganya.
“Masih kenal suaraku?” tanya wanita misterius itu.
Vano masih belum bersuara. Pikirannya masih mencoba menerka-nerka. Namun, wanita ini terus bersuara. Akhirnya, Vano sudah mengunci satu nama di pikirannya.
“Elena?” balas Vano singkat.
“Ternyata masih mengingat suaraku, dan namaku. Apa aku wanita spesial di hatimu mas?” timpal Elena.
“Dapat nomerku dari mana?” Vano tidak menjawab pertanyaan Elena.
“Dari mana saja, asalkan aku masih bisa tersambung dengan mas Vano,” ujar Elena.
Pria yang berusia 42 tahun itu menjelaskan terkait dengan statusnya saat ini. Vano meminta pada Elena agar tidak mengganggu hubungannya dengan istrinya.
“Aku tahu kok mas sudah menikah. Aku juga tahu hubungan mas dengan istri mas seperti apa,” balas Elena.
“Apa yang kamu ketahui tentang hubunganku dengan istriku?” sergah Vano penasaran.
Elena menutup panggilannya sebelum menjawab pertanyaan Vano. Kehadiran Elena di tengah-tengah biduk rumah tangga Vano membuat laki-laki itu berpikir tujuan Elena datang kembali ke kehidupannya.
Seharian Vano duduk di dalam kamar sambil berpikir mengenai Elena. Sering kali ia meremas rambut ikalnya. Karena saking pusingnya memikirkan masalah yang dihadapinya.
“Apakah ini yang diinginkan Allah dan keluarga besarku? Menikah dengan Elena.” batin Vano bergejolak. “Apa aku harus mengakhiri usahaku menyembuhkan Rahma dan meninggalkannya sendiri?” gumamnya kembali.
“Tidak mungkin!” Vano hanya menggeleng.
Untuk mengakhiri kemelut dalam pikirannya, Vano keluar. Ia mengajak Fahmi untuk ngopi bersama. Keduanya sepakat memilih warung kopi yang dekat dengan pemandangan laut. Keduanya menaiki motor terpisah. Meskipun motor butut tapi keduanya masih bersyukur.
Vano orang yang pertama kali datang di warung. Selanjutnya disusul Fahmi. Vano sudah memesan kopi. Tangannya sudah menggenggam erat sebatang rokok yang sudah membara.