“Kamu harus pulang sekarang, istrimu barusan menonjok seseorang,” balas tetangga Vano dengan nafas tersengal-sengal.
Mendengar kabar itu, Vano langsung pergi. Kopi dan gorengannya terpaksa Fahmi yang membayar. Sesampainya di rumah sudah banyak orang di luar rumah. Mayoritas sudah ngomel-ngomel. Ia terdiam namun pandangannya terus bergerak menyisir banyaknya orang yang sudah berkumpul.
“Istri begitu kok masih dirawat di rumah, kenapa nggak dibawa aja di RS. Jiwa. Kalau masih ngamuk begini, jangan salahkan banyak warga yang akan main hakim sendiri!” omel salah satu warga yang ada di sana.
“Vano, kamu tahu nggak yang dipukul barusan itu siapa? Mertua adik iparmu. Kamu tahu kenapa mertua adik iparmu bisa dijotos? Katanya mau merebut kamu dari sisi Rahma,” tandas warga yang lain.
“Astagfirullah,” gumam hati Vano.
Laki-laki itu langsung masuk ke dalam rumah. Di dalam sana sudah ada adik ipar dan suaminya. Rahma berada di dalam kamar karena sudah diberikan obat tidur sama Adiknya. Lina yang dari tadi menangis meminta pertanggung jawaban Kakak iparnya.
“Mas, bisa nggak sih Mas Vano menjaga Rahma dengan baik? Bukannya semakin membaik malah jadi brutal dan kasar. Ini salah penjagaannya ini,” Omel Lina.
Awalnya Vano menjatuhkan pandangannya ke bawah. Ia merasa sangat bersalah dengan kejadian ini. Namun, setelah mendengar ucapan Lina, ia menaikkan pandangannya dengan bola mata yang sedikit melotot. Ia menarik nafas dalam-dalam dulu sebelum berbicara.
“Iya, aku salah tidak bisa jaga Mbak Rahma dengan baik. Aku dah capek, mau kan kamu gantiin Mas Vano jaga Mbakmu? Kamu kan enak tinggal makan dan tidur di rumah. Pernah kamu bantu-bantu urus Mbakmu kalau sedang kumat begini?” balas Vano dengan nada sedikit naik satu oktaf.
“Nggak seperti gitu, itu kan tanggung jawabmu sebagai seorang suaminya. Ya apa-apa jelaslah yang harus disalahkan suaminya,” tambah Lina.
“Ck, gini aja wes. Kalau aku ceraikan Rahma, aku kembalikan ke kamu ya! Sepertinya kamu lebih hebat mengawasi dan menjaga dari pada aku.”
“Nggak …. Nggak enak aja, itu sudah tanggung jawabmu. Terus ini gimana dengan mertuaku yang tiba-tiba ditonjok di bagian wajahnya. Sekarang lebam-lebam?” Lina meminta pertanggungjawaban.
“Terus mau kamu bagaimana?”
“Gini mas, kita bawa Mbak Rahma ke Rumah Sakit Jiwa lagi,” usul Bagas suami Lina yang dari tadi diam.
Setelah berdiskusi, akhirnya diputuskan jika Rahma dibawa ke Rumah Sakit Jiwa keesokan harinya. Kesepakatan ini disetujui Vano karena Bagas dan Lina mau menyumbang dan mengantarkan langsung ke rumah sakit. Biasanya keduanya tidak mau tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga Vano.
*****
“Halo, Elena! Aku mau menjawab lamaranmu hari ini. Sebelumnya aku minta maaf sebesar-besarnya karena aku belum bisa menjadi pasangan hidupmu seperti yang kamu impikan. Maafkan aku! Jujur, kehadiranmu membuat biduk rumah tanggaku semakin goncang,” ujar Vano dalam sambungan telepon.
“Bang, apa Abang sudah pikirkan dengan matang? Aku tahu Abang tidak bahagia. Aku siap membuat Abang bahagia yang tidak pernah didapatkan dari istri Abang,” timpal Elena.
“Terimakasih atas niat baiknya. Hanya saja, aku lebih memilih mempertahankan rumah tanggaku saat ini. Sekali lagi aku ucapkan maaf dan jangan pernah ganggu aku lagi.”
Setelah Vano memutus panggilan itu dadanya terasa sakit dan perih. Namun, apa yang menjadi keputusannya sudah terbaik bagi dirinya dan rumah tangganya. Nomor Elena langsung ia blokir dari kontak pertemanan.