Dengan seiringnya berjalannya waktu. Pernikahan Vano dengan Rahma sudah memasuki angka 20 tahun. Waktu yang tidak sebentar. Pernikahan yang terjalin antara Vano dan Rahma tidak membuat hidup keduanya bahagia dan sejahtera. Lika-liku kehidupan yang dialami keduanya tidak pernah surut. Vano tidak pernah merasakan dicintai oleh Rahma. Sebaliknya ia selalu memberikan cinta, kasih sayangnya hanya pada Rahma. Sejak divonis gangguan mental dua puluh tahun yang lalu. Kondisi Rahma tidak mengalami perubahan sama sekali bahkan semakin ke sini tingkahnya semakin aneh dan kasar. Berbagai macam pengobatan sudah diupayakan tapi tidak ada hasil yang maksimal.
Vano adalah sosok orang yang penuh semangat dan yakin istrinya bakal sembuh. Namun, kini hanya tinggal sebuah kepasrahan dan keikhlasan apa yang terjadi dalam hidupnya.
Vano sedang duduk sendiri di sofa warna biru. Pria yang sudah tidak mudah itu hatinya terasa hampa meskipun di sekelilingnya banyak orang. Sorot matanya terlihat kosong meskipun bibirnya terlihat menyungging ke atas membentuk kurva simetris. Tatapan matanya memandang lekat Rahma yang ada di depannya. Wanita yang berusia empat puluh satu tahun itu sedang asyik dalam dunianya sendiri. Rahma yang berdandan menor itu mengeluarkan serangkain kata yang tidak memiliki makna. Semua menguap tanpa ada arti.
“Jangan pernah kamu mengambil suamiku, heheh. Kalau kamu tidak mau aku bunuh,” ocehan Rahma dengan nada anak kecil di pagi hari itu membuat keluarga Vano geger kembali.
“Mau sampai kapan lagi, kamu bersamanya? Kamu masih punya masa depan. Ingat kamu sudah berusia lima puluh tahun belum punya anak,” ujar Meli Kakak tertua Vano dengan suaranya parau.
“Nggak tahu Mbak. Aku enggak punya kekuatan untuk meninggalkan istriku seorang diri. Apalagi orang tuanya sudah meninggal dua-duanya,” timpal Vano yang sedang memandang Meli di depannya.
“Ya biarin aja, kan masih ada keluarganya yang lain. Ngapain kamu yang repot memikirkan masa depannya. Sedangkan saudaranya sudah tidak peduli lagi sama Rahma,” Meli terlihat nyolot, ia berharap adeknya mau meninggalkan istrinya seperti keinginannya dari dulu.
“Tetap hatiku berat untuk meninggalkannya. Allah sedang menguji keimanan ku, aku yakin suatu saat pasti akan lulus ujian ini,” balas Vano dengan sepasang matanya menerawang jauh.
“Sampai kapan? Katanya kemarin kalau sudah diobatin dimana-mana kalau belum sembuh bakal ditinggal, sekarang mana janjinya yang pernah terucap itu.”
Vano terdiam, bibirnya terkatup rapat-rapat. Ia memandang datar dan sudah tersaji sebuah senyuman tipis di balik pipinya yang sudah mulai keriput dimana-mana. Laki-laki paruh baya itu kembali bermain game yang beberapa menit lalu sempat terhenti. Game yang menjadi penghibur Vano dalam kehidupannya sehari-hari.
“Ha-ha-ha… kamu siapa? Mana suamiku?” celetuk Rahma keras menggelegar di ruang tamu pagi itu.