Aqil mencoba berdiri namun lututnya seakan tidak mampu. Dengan jantung yang terus berdetak kencang, ia menahan air mata yang terus keluar.
“Mas Vano,” suara lirih yang keluar dari bibir Vano.
Aqil merogoh saku celana pendeknya untuk mengambil gadget. Jari-jarinya mulai mencari nomor Meli. Segera ia langsung menekan tombol panggil.
“Mbak, langsung saja ke rumah Rahma,” ujar Aqil singkat.
“Ada apa Qil?”
Pertanyaan Meli tidak sempat dijawab Aqil karena sudah diakhiri. Meli semakin binggung. Tubuhnya mondar-mandir dengan menggigit jarinya.
“Dik, ayo segera ke rumahnya Rahma,” ajak Meli cemas.
“Kenapa Mbak?” tanya Helena yang barusan bangun istirahat siang.
“Nggak tahu, tapi sepertinya Aqil tadi ngomong sambil nangis,” timpal Meli.
Kedua saudara ini pergi ke rumah Rahma. Keduanya saling bergandengan. Rasa cemas dan khawatir terlihat di wajah Meli yang sudah mulai keriput. Keduanya mempercepat langkah kakinya untuk segera menjangkau rumah Rahma.
“Mbak Meli, Mas Vano …” Aqil langsung memeluk Meli yang masih berada di ambang pintu.
“Kenapa Mas Vano?”
"Mas Vano mbak …. Mas Vano ….Mbak. Huhuhu,” balas Aqil sedih.
Seketika Meli terjatuh. Tubuhnya lemas seperti tidak bertulang. Air matanya sudah tidak terbendung lagi. Wanita itu melihat jasad Adiknya yang sudah kaku dan berbaring di atas kasur dengan wajahnya tertupi bantal.
“Kok bisa meninggal, padahal kemarin tidak apa-apa.” Meli berteriak histris belum menerima kenyataan jika Vano meninggal dunia
“Iya bisa aja Mel, namanya kita hanya manusia biasa. Apalagi Vano sakit kemarin,” celetuk warga.
“Aku tahu, kita manusia biasa. Tapi dulu Vano juga pernah sakit tapi ia masih bertahan bahkan ia masih bisa ke rumah buat main-main atau istirahat. Aku kok punya firasat kalau adikku dibunuh sama Rahma,” ujar Meli sedih.