Surrounded (Dalam Kepungan)

Yaldi Mimora
Chapter #2

Part-2: Mimpi Di Lembah Sunyi

   Reihan, seorang tamtama remaja prajurit infanteri anggota brigade-1/pasukan pendarat marinir yang masih berusia dua puluh tahun juga ikut terlempar dari pusat ledakan. Serangan kanon roket kaliber 105 mm yang ditembakkan oleh pasukan fretilin keparat dari lereng perbukitan itu sebenarnya jatuh cukup jauh dari posisi di mana Reihan sedang tiarap, dan juga masih berada di luar jangkauan radius yang mematikan. Namun semburan material ledakan dan bongkahan bebatuan dari pusat ledakan begitu kuatnya menerjang. Tubuh remaja usia dua puluh tahun dengan pangkat prajurit satu itu akhirnya ikut juga terjungkal, lalu menghempas dengan keras dan akhirnya kandas hanya beberapa jengkal jaraknya dari onggokan batu cadas. Seketika itu juga, kesadaran prajurit infanteri marinir itu terlepas.

    Dinginnya hawa malam di dalam kerimbunan semak belukar, ditambah lagi dengan keletihan badan setelah dirinya terhempas dari pusat ledakan membuat Reihan prajurit infanteri marinir itu tiba-tiba saja terperangkap dalam sebuah mimpi yang menyedihkan. Jiwa prajurit yang masih muda belia itu seolah olah terlepas dari raga hingga mengembara di alam luas. Jiwa yang lelah itu kemudian terjerembab di dalam sebuah lembah kegelapan yang dikelilingi oleh dinding-dinding yang curam. Dalam kesunyian, sebuah suara misterius tiba-tiba saja bergema hingga menggetarkan gendang telinga Reihan.  

    “Reihan....! hei Reihan....!” Suara panggilan seseorang terdengar. Prajurit infanteri marinir itu tersentak, suara bergema seorang wanita paruh baya yang memantul dari dinding dinding lembah yang terjal begitu nyata terdengar dalam mimpinya.

    “Haah....! ada suara....?” Kelopak mata remaja itu terbuka, mulutnya ikut ternganga, namun Reihan yang masih terbelenggu dalam mimpinya itu tak bisa melihat apa apa. Kiri kanan depan dan belakang kemudian dipelototinya dengan begitu lama, namun semuanya sama saja, yang terlihat oleh tamtama remaja itu hanyalah warna hitam merasakan hari bagai gelap gulita.

    Kebingungan pun seketika melanda, kedua matanya lalu dia picingkan dengan eratnya, kemudian dia buka seketika. “Haaaaah....!” Mulut prajurit infanteri marinir itu semakin tenganga. Apa yang dia lihat tetap sama, begitu hitam gelap gulita. Dia merasakan seolah olah dirinya tengah berada dalam sebuah kamar mayat tanpa kaca, tanpa jendela dan juga tanpa cahaya. Prajurit itu kemudian bertanya-tanya dalam kebingungannya, ada apakah sebenarnya gerangan yang telah terjadi pada dirinya.

    “Buset deh....! kok tiba-tiba saja bisa gelap begini ya....? ada kejadian apa nih sebenarnya....!” Reihan geleng-geleng kepala tak percaya. “Jangan-jangan...., aku sekarang sudah menjadi buta....! gawat nih.... bisa-bisa aku jadi gila dibuatnya.” Pikir prajurit itu menundukkan kepala masih dengan menggeleng-gelengkan kepala. Dia mengira dirinya mendadak sudah menjadi buta, benaknya pun kacau balau mulai menggila.

    Tak ingin prajurit itu percaya dengan begitu saja, bola matanya kemudian dia tabok dengan sebegitu kerasnya. Aneh.... ternyata dirinya tak merasakan apa-apa. “Haaah....! kok nggak terasa ya....?” Mulut remaja usia dua puluh tahun itu kembali membulat ternganga. 

    Reihan masih tak ingin percaya bahwa dirinya mendadak buta dengan begitu saja, dia bahkan menonjok jidatnya sendiri dengan kepalan tinjunya hingga berkali-kali banyaknya, namun dia juga tak ada rasa sakit yang dia rasa. “Benar-benar gila....! masih nggak terasa juga....! celaka....!” Celoteh Reihan lagi mengerutkan jidatnya.

    Kegusaran di dalam benak semakin membara, kedua bola matanya kemudian dia kucek-kucek hingga memerah warnanya, namun remaja itu masih juga tak merasakan apa-apa. Tak hanya itu, bahkan lidahnya juga dia jepit sekuat mungkin yang dia bisa dengan gigi-giginya, ternyata dia juga tak merasakan sakit di sana. Tak pelak lagi, wajah remaja ingusan itu semakin pucat dibuatnya.

     “Waduh....! kok satu pun nggak ada yang terasa ya....? atau.... jangan-jangan aku ini sekarang sudah berada di alam baka....? mampus deh....! bisa-bisa aku gagal kawin dengannya.” Rintih Reihan mengutuk dirinya yang belum sempat menikmati malam pertama. Dia merasakan bahwa dirinya mungkin saja kini telah tiada di dunia nyata.

    “Hei Reihan.... ayolah bangun nak.... sarapan pagi dan gulai jengkolya sudah ibu siapkan di atas meja.” Suara wanita itu terdengar lagi. Reihan semakin tersentak, kedua bola matanya semakin terbelalak, jantungnya terasa menyentak-nyentak. Mengapa tidak... suara panggilan kali ini begitu membingungkan dirinya, karena suara yang muncul itu kini malahan terdengar seperti suara ibu kandungnya. Apa lagi ketika wanita itu menyebutkan gulai jengkol yang memang kesukaan Reihan dari dulunya, mulut prajurit itu tentu saja monyong-monyong dibuatnya.

    “Kok yang terdengar sekarang malah seperti suara ibu ya...? tapi mengapa dia ada di sini....? pakai buatain sambal jengkol lagi.” Pikir Reihan menengadahkan wajahnya sambil garuk-garuk kepala.

     “Ibu.... ibu.... sura ibukah itu....?” Prajurit infanteri marinir itu mencoba memanggilnya. Penglihatannya kemudian berkeliling mencari-cari dari mana datangnya arah suara, namun tetap saja dia tak bisa melihat apa-apa karena dirinya merasa sudah terlanjur buta.

    “Iya nak.... ini benar ibumu....!” Suara wanita itu kemudian terdengar lagi, dia menjawab degan suara iba, seperti tengah bersedih hati mengetahui kondisi anaknya yang begitu menderita karena tidur beralaskan tanah di dalam hutan rimba.

Lihat selengkapnya