Surrounded (Dalam Kepungan)

Yaldi Mimora
Chapter #3

Part-3: Gugur Tanpa Air Mata

   Pukul 02: 43 Wita:    

    Hingga lewat tengah malam setelah terjadinya serangan mortir besar-besaran, satu pleton prajurit infanteri brigade-1/pasukan pendarat marinir termasuk prajurit satu Reihan masih bertahan  dalam kerimbunan semak belukar yang kelam. Secara tak terduga, satu pleton pasukan yang tadi tengah melakukan pergerakan malam menuju kota Fatularan untuk melindungi iring-iringan kompi tank PT-76 dan panser amphibi BTR-50 itu tiba-tiba saja dihadang di tengah perjalanan.

    Setelah dua jam lamanya tadi berjalan kaki dalam pergerakan malam menelusuri kaki perbukitan menuju ke kota Fatularan untuk mendukung serangan fajar besar-besaran di kota Atabae yang berdekatan dengan kota Fatularan, mendadak satu pleton pasukan pendarat marinir itu mendapat serangan gencar di tengah kerimbunan hutan dan semak belukar yang dipenuhi oleh bebatuan. Keberadaan prajurit infanteri marinir yang bergerak dalam kesenyapan malam di hutan belantara itu keburu diketahui oleh pasukan pengintai lawan sebelum mereka berhasil sampai di kota Fatularan.

    Kontak senjata terjadi sejak pukul sembilan malam tadi. Pertempuran frontal saling berhadapan berlangsung sengit selama hampir dua jam, di sana-sini terdengar tembakan secara sporadis. Dua puluh orang lebih pasukan musuh anggota infanteri fretilin terbunuh dalam baku tembak. Namun tujuh orang prajurit infanteri marinir juga gugur tertembus peluru dalam pertempuran.

    Untuk beberapa saat, satu peleton prajurit infanteri marinir yang masih tersisa tadi memang berhasil menguasai medan pertempuran, mereka terus menghujani musuh dengan tembakan. Belasan pasukan fretilin yang tertinggal di dalam medan pertempuran harus kocar-kacir berlompatan ke sana kemari berlarian menyelamat diri, lalu mereka kembali mundur menuju area perbukitan.

    Namun sayang.... secara tak di duga, satu kompi pasukan artileri fretilin lainnya yang memiliki senjata bantuan berupa pelontar mortir sedang kaliber 105 mm, 80 mm dan 60 mm standar NATO ternyata juga tengah bersarang di sekitar lereng perbukitan. Pasukan artileri fretilin kemudian ikut menghujani prajurit infanteri marinir dengan tembakan mortir kaliber besar. Prajurit-prajurit infanteri marinir yang tadi nyaris menguasai medan pertempuran itu akhirnya berhasil didesak mundur oleh musuh. Namun setelah melewati hutan palem, mereka yang masih tersisa terjebak di lapangan berbatuan yang berada tak berapa jauh dari pinggir jurang.

*****

    Lima belas menit setelah gempuran mortir menghilang, pasukan fretilin yang menguasai area perbukitan itu masih belum melakukan serangan. Sisa-sisa prajurit infanteri marinir yang masih bernyawa bertahan di posisi masing-masing. Tak seorang pun yang berbicara, semuanya senyap menunggu dalam kebisuan. Jari telunjuk masing-masing prajurit bersiap-siap di pelatuk senjata. Belasan pasang mata yang masih tersisa tak berkedip menyorot tajam kalau kalau saja ada pergerakan lawan. Semua siap siaga dalam ketegapan hati  melirik kiri kanan dan ke depan.

     Hampir tiga puluh menit kini berlalu, sisa-sisa prajurit masih bungkam membisu bagai menunggu bom waktu. Prajurit satu Reihan yang baru saja terjaga setelah tersembur dari pusat ledakan mencoba mengurai kebisuan, dia mulai beranjak dari persembunyian mencari-cari prajurit lainnya yang sedang bertahan dalam kegelapan. Tamtama itu merayap pelan memasuki celah hutan buas, kemudian menyusup pelan menerobos jalan tikus yang membelah hutan buas itu menjadi dua bagian. Bagai ular sanca yang bersiap-siap menyergap, Reihan merayap senyap di antara kerimbunan semak belukar yang kelam.

    Sisi kiri dan kanan hutan dirasakan bagai tempat nongkrong singa dan harimau lapar yang tertidur ngorok kelelahan. Namun jangan salah, apalagi sampai berbuat lengah, jika mereka tiba-tiba saja terjaga, seketika itu juga mereka akan menerkam. Seperti terkaman timah-timah panas  yang kapan saja mungkin akan dimuntahkan dari salah satu moncong senjata laras panjang milik lawan. Begitulah rasanya kengerian yang harus di hadang oleh Reihan dan juga masing-masing prajurit lainnya yang masih bernyawa.

    Namun.... ternyata tak hanya kengerian itu yang tersuguh di hadapan Reihan dan juga sisa-sisa prajurit lainnya yang masih bertahan. Beberapa meter setelah Reihan merayap dari pusat ledakan, darah merah terlihat berceceran membasahi rerumputan dan tanah becek penuh bebatuan. Ceceran darah itu ditelusuri oleh Reihan. Di antara dahan-dahan pohon yang patah berserakan, tubuh letnan satu Prapto dia temukan tewas dalam keadaan tak lagi berbadan. Sebuah pemandangan yang begitu memilukan, sulit bagi prajurit infanteri marinir itu untuk bisa mengungkapkan dengan kata-kata di saat dirinya harus menyaksikan bagaimana seorang perwira rela gugur dalam keadaan isi perut berhamburan dan kedua kaki terlepas dari badan.

    Keterkejutan lain tiba-tiba menyentak pendengaran Reihan. Suara merintih kesakitan seorang prajurit terdengar dalam kegelapan. Tamtama dengan pangkat prajurit satu itu memasang pendengarannya tajam-tajam, suara rintihan itu ternyata berasal dari sebuah batang pohon yang tumbang. Tak lama kemudian, suara rintihan itu menghilang dari pendengaran. Penasaran, dan juga ingin tahu gerangan siapakah sebenarnya yang sedang mengerang kesakitan, tamtama dengan pangkat prajurit satu itu buru-buru merangkak menuju ke arah pohon yang tadi tumbang terkena ledakan. Penglihatan Reihan seketika tersengat, sersan Dodi seorang prajurit infanteri marinir dia temukan tengah meregang nyawa dalam kepayahan.

    Senapan mesin AK-47 kemudian dia letakkan di atas tanah penuh ceceran darah. Perlahan bahagian kepala bintara itu dia angkat lebih tinggi dari badan, lalu dia dia sandarkan di batang pohon yang rebah agar napasnya tidak tertahan di kerongkongan.

    “Oh Tuhan.... sersan.... sersan.... sersan Dodi.” Nama bintara itu dipanggil-panggilnya, namun sersan itu tak berdaya untuk menjawabnya. Reihan mendekatkan wajahnya agar bisa melihat lebih jelas, kedua kelopak mata bintara itu dia lihat terbuka, namun tak lagi mampu dia menutupnya. “Sersan.... sersan.” Sekali lagi Reihan memanggilnya, Dodi masih tak bersuara. Tangan bintara itu kemudian dia raba, namun denyut nadinya tak lagi terasa. Reihan memicingkan mata mengetahui bahwa bintara itu ternyata telah pergi untuk selama-lamanya.

    Sebagai penghormatan terakhir, Reihan melipat kedua tangan bintara itu di dadanya. Tamtama itu seketika terlonjak, tangan bintara itu terasa ringan. Kedua matanya kemudian mendadak terbelalak mengetahui tangan itu ternyata telah putus dan tak lagi melekat di tubuh sang bintara. Jantung berdebar tersentak, napas serasa sesak bagai menahan tusukan tombak menyaksikan bagaimana tangan sang bintara itu putus oleh peluru mortir keparat yang tadi meledak.

    Tak ada air mata untuk mereka, apalagi karangan bunga. Letnan satu Prapto dan sersan Dodi bersama belasan prajurit infanteri marinir lainnya telah pergi untuk selama-lamanya. Mereka melupakan seluruh kesenangan dunia yang fana, meninggalkan orang tua dan kekasih tercinta, meninggalkan anak dan istri tanpa harta pusaka. Memang tak ada air mata untuk mereka, namun itulah mereka. Namun.... apapun yang terjadi pada mereka yang telah tiada, perjuangan bagi prajurit-prajurit yang masih bernyawa belumlah sampai ke ujungnya. Hingga suatu nanti saatnya tiba, maut akan terus mengintai mereka di mana-mana.

     Reihan kembali bangkit meninggalkan prajurit-prajurit yang gugur di sana, dia biarkan kaki lembah perbukitan itu sebagai saksi bisu untuk selama-lamanya. Senapan serbu AK-47 yang tergeletak di samping jasad sersan Dodi kembali dipungutnya. Membunuh atau keburu terbunuh, itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh Reihan kini, walaupun pahit, namun harus tetap dia jalani. Tamtama itu kembali merangkak dalam kegelapan malam, melewati tanah becek dan melangkahi beberapa tubuh prajurit infanteri marinir yang telah menjadi mayat. Dibiarkannya darah segar milik jasad beberapa orang prajurit yang tumpah membasahi rerumputan basah mengotori baju seragam miliknya yang sudah terlanjur berlumuran darah. 

Lihat selengkapnya