Surrounded (Dalam Kepungan)

Yaldi Mimora
Chapter #4

Part-4: Menuju Bom Waktu Yang Meledak

   Pukul 3:45 Wita

    Suasana dalam kerimbunan semak belukar di kaki lembah bukit itu masih hening dan mencekam. Napas masing-masing prajurit mendesah panjang. Bagaimana tidak, perjalanan menuju kota Fatularan yang berada di sisi sebelah barat kota Dilli ibu kota Timor timur itu belum bisa mereka lanjutkan malam itu juga. Padahal, prajurit kompi C infanteri marinir itu seharusnya di saat fajar dijadwalkan sudah harus menyusup dengan senyap keluar dari area kaki perbukitan. Tanpa diketahui oleh lawan, mereka kemudian akan bergerak perlahan, lalu membeku di belakang pertahanan pasukan fretilin di luar kota Fatularan. Di sana mereka akan menunggu hingga matahari datang, kemudian bersiap-siap dengan serangan dadakan.

    Inti dari keberadaan mereka di sana adalah untuk melindungi iring-iringan dua kompi pasukan pendarat marinir lainnya yang didukung oleh kekuatan dua kompi tank PT-76 dan panser amphibi BTR-50, juga dua tim intai amphibi yang akan melewati kota Fatularan untuk melakukan penyerangan secara besar-besaran terhadap pasukan fretilin yang menguasai daerah itu. Menurut sekenario pertempuran, di saat pasukan musuh fretilin terpancing untuk menyerang dua kompi tank PT-76 dan panser amphibi BTR-50, satu pleton prajurit dari kompi C pasukan pendarat marinir itu akan menyerang musuh dari arah belakang. Namun dukungan serangan dari prajurit kompi C infanteri marinir itu kini masih terganjal di tengah jalan.      

*****

    Beberapa menit menjelang fajar, setumpuk awan hitam terlihat menutupi sebagian besar angkasa malam di atas hutan belantara itu, badai tropis sepertinya sebentar lagi akan melanda. Suara menggelegar mendadak terdengar, namun suara gelegar kali ini bukanlah berasal dari suara peluru kanon roket yang ditembakkan oleh pasukan lawan, melainkan gelegar suara halilintar yang terdengar dari kejauhan. Sambaran halilintar terlihat menghanguskan sebatang pohon jangkung yang menancap kokoh di lereng bukit yang berada sekitar tujuh ratus meter dari lokasi Reihan dan Saharudin yang sedang bertahan. Di sekitar lereng perbukitan itulah tiga kompi lebih pasukan musuh fretilin tengah bersarang.

    Penglihatan kopral dua Saharudin berkeliling mengitari lekuk-lekuk lembah yang terlihat dari kejauhan, kemudian dia kembali mengamati keadaan di sekitar hutan belantara dan kerimbunan semak belukar yang ada di hadapannya. Suasana yang tadi hingar-bingar dipenuhi dengan suara tembakan dan ledakan kini masih terasa sunyi, tak ada suara yang terdengar olehnya, kecuali hanya suara burung-burung malam yang terbangun karena kekagetan. Sesekali burung-burung itu terdengar berkicau mengeluarkan suara yang kacau balau dan tak beraturan.

     Hawa dingin di saat-saat menjelang fajar itu juga mulai menyerang. Semakin lama, hawa dingin terasa semakin merajalela dengan garang, luar biasa dingin yang terasa, jauh sekali berbeda dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Bahkan dinginnya juga hingga menembus sampai ke tulang sumsum.

    Untuk sesaat Saharudin mencoba menenangkan pikirannya yang tegang. Kopral itu kemudian menyandarkan punggungnya di bebatuan, kedua kakinya dia selonjorkan sembari menghela napas panjang. Dilihatnya Reihan yang ada di sampingnya juga mulai kelelahan. Sebungkus rokok yang masih terikat erat di helm tempur miliknya kemudian dia buka. Salah satu dari belasan gelinting tembakau yang katanya beracun yang ada di sana dia tarik dari bungkusnya.

    “Han.... leherku rasanya tegang nih, rokok dulu sebatang yok....!” Saharudin menyapa, tangannya dia julurkan ke arah Reihan. Sebatang rokok dilihat oleh Reihan terjepit di antara jari manis dan telunjuk kopral itu. “Aku lagi nggak mut Din, kamu saja.” Reihan menggelengkan kepala, ogah dia menghisap tembakau beracun yang ada di dalamnya.

Lihat selengkapnya