Beberapa saat menjelang fajar, suasana di kaki lembah perbukitan itu yang tadinya tegang kini kembali berubah lengang. Sesuatu yang mengherankan, serangan peluru kanon roket kaliber besar yang tadi begitu gencarnya ditembakkan oleh pasukan fretilin kini tiba-tiba saja buyar. Tak ada lagi terdengar suara tembakan yang menghujam setelah itu. Padahal, jika mereka ingin mengakhiri pertempuran, dengan beberapa kali serangan mortir lagi dapat dipastikan seluruh prajurit infanteri marinir yang masih bertahan di hutan itu pastilah akan binasa dibuatnya.
Sisa-sisa prajurit yang masih bertahan dalam kerimbunan semak belukar itu kini bertanya-tanya dalam kebisuan, ada apakah sebenarnya gerangan....? Mengapa pasukan fretilin tiba-tiba saja kembali menghentikan serangan artileri mereka....? Mungkinkah mereka keburu kehabisan amunisi...? Ataukah mereka kini lelah dan frustrasi karena tak sanggup menghabisi sisa-sisa prajurit infanteri marinir yang jumlahnya kini bisa dihitung hanya dengan jari...? Benar-benar ada sesuatu yang tak pasti di balik itu semua, dan kini masih menjadi teka-teki.
Tak seorang pun prajurit infanteri marinir yang menyadari...., dibalik itu semua ternyata pasukan infanteri fretilin kini mulai menyelusup dalam kegelapan malam. Puluhan orang kembali diperintahkan turun dari lereng perbukitan yang curam. Mereka mulai bergerak senyap memasuki kerimbunan semak belukar, kemudian mengendap-endap dan merangkak dalam kesunyian malam.
Bom waktu kini bagai menunggu detik-detik akan meledak. Pertempuran frontal dengan kontak senjata secara langsung tak akan mungkin lagi bisa terelakkan. Pertumpahan darah di dalam hutan belantara itu kini menunggu detik-detik akan mencekam...., membunuh ataukah keburu terbunuh, itulah akhir dari segalanya yang akan terjadi.
*****
Dalam kesenyapan malam, kedua bola mata Reihan menangkap adanya suatu tanda-tanda pergerakan lawan. Beberapa sosok bayang-bayang hitam dilihatnya tengah menyelinap senyap di antara semak belukar dan pepohonan yang rindang. Prajurit itu menaikkan sedikit helm tempur yang bertengger di kepalanya agar bisa lebih jelas melihat, kedua bola matanya membulat tanpa kedipan. Sekali lagi dia mencoba kembali mengamati, namun sayang, bayang-bayang hitam itu keburu menghilang dari pandangan. Prajurit infanteri marinir itu pun harus bersiap-siap untuk memulai penyerangan.
“Ssssssssst....! ada fretilin Din, tadi aku lihat mereka muncul dari arah jam dua sebelah kanan, kau lihat juga kan?” Reihan berbisik tegang.
“Aku tadi juga lihat Han, mereka ada yang berpencar di arah jam sebelas di kiri depan,.” Saharudin juga berbisik, kopral itu terlihat lebih tegang lagi dari pada Reihan, jakunnya bergerak turun naik menelan air liur hingga berkali-kali.
Tanpa berbisik lagi, Reihan buru-buru meninggalkan persembunyian untuk memulai taktik tempur dan bersiap-siap dengan penyerangan dadakan. Juga tanpa diketahui oleh lawan, tamtama dengan pangkat prajurit satu itu merayap pelan. Dengan senyap dia menerobos rerumputan dan ilalang tajam yang tumbuh setinggi pinggang. Saharudin juga mulai berpencar untuk menyiasati penyerangan. Kopral itu merangkak pelan bagai seekor macan, lalu merayap dengan senyap menuju ke sebuah batang pohon yang besar untuk mencari tempat perlindungan dan posisi menembak yang lebih aman. Detik-detik penentuan antara hidup dan mati kini tiba, kedua prajurit itu bersiap-siap untuk memuali penembakan dengan posisi saling berjauhan.