- 48 tahun kemudian setelah terjadinya ledakan mortir besar-besaran -
- Jumat, tanggal 10 November - pukul 10:30 pagi hari -
..................................................
Hujan lebat disertai suara gelegar halilintar baru saja usai mengguyur bumi ibu pertiwi di hari pahlawan itu. Jalanan yang baru saja di aspal ulang dua minggu yang lalu terlihat becek dipenuhi genangan. Begitu amburadul terlihat. Di sisi kiri dan kanan jalan juga mulai kembali berlobang bolong-bolong bagai punggung sundel bolong. Sebuah sepeda motor yang tadi menyelonong genangan langsung kandas dan terhempas. Pengendaranya garuk-garuk kepala bengong tak menyangka jalan itu sudah kembali bolong-bolong.
Traffic light di perempatan jalan tak jauh dari sebuah halte bis kota sejak tiga hari yang lalu juga tak lagi terlihat menyala. Dengan gesitnya sebuah mobil angkot warna hijau muda terlihat sikut kiri sikut kanan menyalip tiga mobil mewah berwarna merah yang ada di depannya. Lalu..., mobil angkot yang tak mewah itu berhenti mendadak setelah pertigaan jalan tak jauh dari sebuah hotel berbintang lima milik seorang konglomerat kaya.
Wajah kesedihan tersuguh di sana. Seorang lelaki tua dengan bersusah payah menyandang tongkat turun dari mobil angkot warna hijau muda. Kaki kanan lelaki tua itu putus..., kaki kirinya cacat pula, benar-benar suatu kesedihan yang nyata. Namun..., tak hanya itu ternyata, bekas luka bakar yang terpendam sejak puluhan tahun lamanya jelas sekali terlihat di sekujur tubuhnya. Gerangan apakah sebenarnya yang telah terjadi pada lelaki tua itu sebelumnya....? Tak satu pun orang di negeri ini ada yang tahu kenapa.
“Ongkosnya kurang pak!” Supir angkot yang berambut cepak terdengar marah. Enam lembar uang kertas ribuan yang disodorkan oleh si pak tua itu mentah-mentah ditolaknya.
“Memangnya berapa ongkos angkot sekarang mas?” Pak Tua bertanya heran. Biasanya, enam lembar uang ribuan itu cukup untuk ongkos angkot dengan sekali perjalanan jarak dekat.
“Loh bapak kok nggak tahu, lihat tuh, minyak goreng pada langka, apalagi BBM yang semakin menggila, gas elpiji dua belas kilo juga sudah dua minggu lebih naik harganya, memangnya bapak nggak punya TV di rumah ya?” Supir angkot itu menjawab ketus.
Jawaban ketus itu dibalas oleh si pak tua dengan senyuman tulus. Pak tua mengangguk anggukkan kepala, dia paham apa maksudnya. Kocek celana depan kemudian kembali dirogohnya, selembar uang kertas lima puluh ribu rupiah dihelanya, uang kertas itu diberikannya pada supir angkot tanpa suara.
Di saat uang itu dia berikan, si pak tua tiba-tiba saja terpana sembari mengusap-usap dada. Rasa iba seketika itu muncul dalam sanubarinya setelah dia memahami apa yang sebenarnya telah terjadi. Lihat saja, angkot itu di dalamnya ternyata sepi, sedari tadi penumpangnya hanya pak tua itu sendiri. Mungkin saja hari itu si supir angkot tak dapat gaji, lalu bagaimana caranya dia bisa menafkahi anak bini yang setiap hari menanti rezeki. Memang, mereka sudah lama tersingkir oleh jasa angkutan on-line dan kendaraan pribadi, namun kehidupan yang semakin sulit memaksa mereka untuk tetap beroperasi mengais rezeki tanpa harus korupsi dan mencuri.
Supir angkot itu kemudian juga diperhatikan oleh si pak tua. Supir itu masih muda belia, dia berambut cepak seperti seorang tentara. Kaos oblong yang dia pakai warnanya biru tua. Sepatu yang dia kenakan adalah jenis sepatu PDL juga milik seorang tentara. Bangku di sebelah kiri supir angkot itu terlihat kosong tak ada penumpangnya. Ternyata di sana tergeletak sebuah seragam loreng PDL pakaian dinas lapangan milik seorang tentara dengan tanda pangkat dua garis strip merah di lengannya (prajurit satu). Pangkat itu ternyata persis sama dengan pangkat yang di sandang oleh si pak tua itu 48 tahun yang lalu di saat serangan mortir meluluh lantahkan tubuhnya yang masih kekar perkasa.