Pertempuran sengit tak berimbang. Musuh yang tersebar di sekitar area perbukitan dan jalan-jalan di pinggiran kota dengan leluasa melepaskan tembakan. Sebutir timah panas mendesis dari bawah, lalu melejit secepat kilat menembus angkasa fajar. Reihan yang semakin mendekat menuju daratan mulai menjadi sasaran tembakan pasukan lawan. Parasut miliknya yang tadi dalam beberapa saat sempat mengarah ke ‘....dropping zone....’ di sisi tanah lapang, namun kini bahkan kembali terbawa hembusan angin kencang menuju ke area di sekitar lereng perbukitan di mana puluhan prajurit musuh fretilin bersarang.
Lagi-lagi sebutir timah panas yang ditembakkan oleh seseorang dari area perbukitan mengarah tepat kepada Reihan. Tamtama dengan pangkat prajurit satu itu terperanjat mendengar suara desingan, beruntung dirinya masih luput dari tembakan. Namun sayang..., parasut T-10 miliknya bolong satu. Prajurit infanteri marinir itu nyaris saja kehilangan kesadaran, namun dia berusaha agar tetap terjaga hingga akhir hayatnya menjelang.
Napas mengap-mengap di saat dia merasakan parasutnya terjerembab lebih cepat dari biasanya. Bibir bergetar, tubuh menggigil kedinginan, hampir tak mampu lagi dia menahan kebekuan yang menggerogoti seluruh anggota badan. Penglihatan prajurit itu kini mulai berkunang-kunang, Reihan merasakan dirinya tak akan sanggup lagi untuk bertahan dalam penerjunan. Prajurit infanteri marinir itu kini tak lagi menghiraukan ke mana parasutnya harus dia arahkan, dia biarkan bak layang-layang putus talinya bergerak ke sana kemari terserah kehendak arah angin yang menerjang. Tak ingin juga dia menderita terlalu lama. “Biarlah aku akhiri saja kini semuanya.” Pikirnya...., mati di angkasa bagi prajurit infanteri marinir itu adalah lebih terhormat dari pada mati di darat tertembus peluru fretilin keparat.
Prajurit infanteri marinir itu merapatkan kedua kakinya, lalu dia menengadahkan kepalanya ke atas menanti kehadiran malaikat maut agar segera mencabut nyawanya. Sebegitu lama dia tunggu-tunggu, namun makhluk serba putih itu tak kunjung jua datang menjemputnya. Bahkan yang muncul kemudian adalah suara jeritan yang begitu menyesakkan dada. Hanya beberapa jengkal di hadapan Reihan, seorang prajurit infanteri marinir lainnya terkena tembakan brutal dari pasukan lawan. Prajurit infanteri marinir yang malang itu harus meregang nyawa di angkasa fajar. Tubuh terjun bebas menggelepar seiring dengan parasut yang terus berputar-putar.
Kedua bola mata prajurit satu itu terbelalak menyaksikan. Parasut yang sedang terjun bebas menuju daratan itu masih saja dihujani oleh lawan dengan tembakan. “Ya Allah....! tidaaaaak....! tidaaaaaak....! biadab kalian...!” Teriak Reihan geram menyaksikan bagaimana rekannya yang tak lagi berdaya itu tak henti-hentinya ditembaki oleh pasukan lawan. Begitu menyesakkan dada, ngeri terasa.
Tubuh yang tadi membeku kedinginan kini terasa bagai panas membara. Ogah lagi rasanya Reihan menunggu kehadiran malaikat maut agar segera mencabut nyawanya. Senjata AK-47 miliknya yang tadi tergayut kembali digenggamnya, prajurit itu kini berubah gila, moncong senjata diarahkannya ke bawah sana, jari telunjuknya mengokang pelatuk senjata. Prajurit itu kemudian memekik dengan kuat, sekuat mungkin yang dia bisa. “Eaaaaahhh....! keparaaaat....! fretilin edaaaan....! kubunuh kaliaaaaan....! mati kaliaaaaaan....!” Pekik prajurit itu benar-benar gila. Berondongan tembakan tak henti-hentinya dia lepaskan hingga seluruh peluru yang ada dalam magazen senjatanya kosong tak lagi bersisa.
*****
....Tanggal 7 Desember Pukul 05:55 Wita....
.......................................................