Ancaman serangan peluru mortir mungkin jadi akan kembali mengintai prajurit-prajurit infanteri marinir. Hal itu dikarenakan tiga orang pasukan artileri musuh berhasil luput dari tembakan kopral satu Yudi dan prajurit dua Sumarno. Dua orang di antara mereka menghilang di balik pepohonan, seorang pasukan artileri fretilin yang lainnya berlindung di sebuah gundukan tanah berbatu setinggi pinggang.
Celaka...., musuh kini punya waktu beberapa detik untuk mempersiapkan persenjataan. Pelontar mortir kaliber 60 mm mereka posisikan dengan aman di samping gundukan bebatuan, salah seorang dari mereka tengah mengisi amunisi ke dalam pelontar. Tak terbayangkan kengerian yang akan menimpa prajurit-prajurit infanteri marinir kemudian. Pasukan artileri fretilin itu berjarak dalam radius yang mematikan, hanya sekitar enam puluh meter jauhnya dari posisi kopral satu Yudi dan prajurit dua Sumarno yang tengah melepaskan tembakan. Yudi bahkan keburu kehabisan amunisi, tembakan dari senjata tamtama itu untuk sementara terhenti. Prajurit dua Sumarno masih terus memuntahkan pelurunya untuk memperlambat pergerakan lawan.
“Buseeeeet....! aku bisa jadi sate kalau peluru mortir itu sempat mereka tembakkan.” Gerutu Yudi. Mengapa tidak, kopral itu berada dalam jarak radius tembak yang mematikan. Jika pasukan artileri musuh berhasil menembakkan kembali peluru mortir mereka, maka akan tamatlah riwayat kopral itu. Yudi buru buru mengganti magazen senjatanya yang kosong sebelum tubuhnya keburu gosong.
“Sukhairi....! Eko....! mortir di arah jam dua, mereka akan kembali menyerang....! arahkan tembakan ke sana....!” Teriak kopral Yudi. Prajurit dua Eko dan prajurit dua Sukhairi yang tiarap tujuh meter jauhnya dari Yudi tersentak mendengar teriakan kopral itu. Sumarno yang kewalahan seorang diri melepaskan tembakan juga ikut menyoraki mereka berdua. “Eko....! Sukhairi....! mortir di depan arah jam dua sebelah kanan....!” Teriak Sumarno menunjuk-nunjuk ke arah kanan depan di mana pasukan artileri fretilin tengah melakukan persiapan pelontar mortir mereka.
“Fretilin keparat....!” Eko mengumpat mengetahui musuh ternyata kembali bersiap-siap dengan peluru mortir mereka. Moncong senjata AK-47 milik prajurit itu langsung mengarah pada lawan di sisi depan sebelah kanan. Tembakan beruntun seketika itu juga dia lepaskan. Sukhairi langsung menyambung tembakan Eko, mereka melepaskan tembakan secara bersamaan. Peluru peluru panas mendesis tak henti hentinya dari moncong senjata mereka berdua, namun sayang selalu tertahan. Sebahagian peluru yang ditembakkan hanya menyapu dinding-dinding dan lekukan tanah yang bergelombang yang dijadikan tempat perlindungan pasukan fretilin sialan.
Tak diduga, fretilin keparat punya kesempatan, mereka kembali menembakkan peluru mortir kaliber 60 mm untuk yang kedua kalinya. “Awas RPG....! semua tiarap....!” Teriak Eko geram mengetahui adanya serangan. Seluruh prajurit terpaksa menghentikan tembakan, mereka langsung tiarap merapatkan badan memegang kepala menghindari serpihan ledakan. Suara dentuman yang keras terdengar kemudian. “Duaaarrrr….! bummmm....!”
Asap hitam berbau mesiu kembali menyelimuti tubuh-tubuh prajurit infanteri marinir yang sedang tiarap. Prajurit dua Sumarno tepat berada di pusat ledakan, tubuh tamtama yang malang itu terlempar seiring semburan tanah dan bebatuan yang juga ikut pecah berhamburan. Seketika itu juga, tamtama dengan pangkat prajurit dua itu gugur dalam medan pertempuran.
Kopral Yudi yang tiarap dua meter dari sana juga ikut terlempar dari pusat ledakan. Senapan mesin Degtyaref RPD terlepas dari genggaman tangan, melayang jauh dan jatuh di atas bebatuan lalu patah berhamburan. Tubuh kopral Yudi remuk tertelungkup menerjang bebatuan keras tepat di hadapan prajurit dua Eko yang sedang bertahan. “Allahuakbar....! Allahuakbar....! Allahuakbar....!” Eko mengucap terperanjat menyaksikan. Kopral Yudi tewas tepat di depan mata dengan kondisi tubuh begitu menyedihkan. Lagi lagi, darah milik prajurit infanteri marinir kembali berserakan di tanah lapang penuh bebatuan..