Suatu kemujuran benar-benar terjadi, prajurit fretilin itu memang terlalu berambisi untuk segera menghabisi, hingga dia tak memikirkan lagi isi amunisi. Apa kemudian yang terjadi, hanya bunyi pelatuk senjata “Tik.... tik.... tik.... tik....!” dari senapan serbu G.3 kaliber 7.62 mm yang terdengar kini, namun tak ada peluru yang keluar seperti tadi. Prajurit fretilin itu sontak kehilangan nyali setelah menyadari senjatanya kini tak lagi berisi amunisi.
“Ha ha ha ha ha...., peluru fretilin itu ternyata tak ada lagi, cihuiiii....!” Reihan tertawa geli mengetahui prajurit fretilin ternyata juga kehabisan amunisi. Musuh tak punya kesempatan untuk menembak lagi. Beberapa detik waktu untuk mengganti amunisi kini terbuka lagi. Reihan meraba-raba dalam semak belukar mencari cari magazen senjatanya yang terlepas tadi. Prajurit fretilin juga tak kalah gesitnya mengganti amunisi senjata dengan yang sudah terisi. Keduanya adu cepat mengganti amunisi untuk bisa saling menghabisi.
Magazen senjata yang jatuh di dalam semak belukar dia dapat, prajurit satu Reihan mengganti amunisi dengan cepat, prajurit fretilin yang mengetahui hal itu langsung pucat. Begitu amunisi dalam senjata Reihan terisi, prajurit fretilin yang kalah adu cepat itu tiba-tiba saja berlarian ke arah Reihan, prajurit infanteri itu diburunya dengan cepat. Reihan yang tak menduga hal itu akan terjadi langsung terperanjat. Untuk menembakkan senjata prajurit infanteri marinir itu lagi sempat, senjata AK-47 yang ada dalam genggaman tangan prajurit itu seketika terlepas.
Pergulatan maut satu lawan satu kini terjadi. Lelaki kurus anggota fretilin itu melompat ke arah Reihan, gerakannya begitu cepat bagai kutu loncat. Reihan yang tak siap terbelalak melihat, senjata yang terlepas dari genggaman tangan dicoba diraihnya, namun dia tak bisa. Prajurit infanteri marinir itu mencoba mengelak dari serangan lawan, namun dia tak lagi sempat karena kalah cepat. Prajurit fretilin itu sudah terlebih dahulu menyeruduk dirinya dengan galak. Reihan mencoba menghadangnya dengan serudukan badan, namun tubuh fretilin yang kurus itu ternyata kekar. Reihan terpental, anggota fretilin itu juga ikut terjungkal.
Lagi lagi apes, prajurit infanteri marinir itu terduduk. “Buuuuuuuk....!” Pantatnya yang benjol kembali menyeruduk tanah yang tak empuk. Bayangkan saja, rasa sakit yang tadi hilang kini kambuh lagi, malahan kini semaki menjadi-jadi. Reihan bangkit, kemudian dia berlarian sembari berteriak tak sanggup menahan pantatnya yang bertambah bonyok bagai ditonjok kayu balok.
Prajurit fretilin yang kurus tinggi kini berada di atas angin mengetahui lawan kesakitan. Reihan kembali dia buru dengan garang, prajurit infanteri marinir itu ambil langkah seribu lari tunggang-langgang. Prajurit fretilin itu terus mengejarnya dari belakang. Reihan semakin kelabakan, dia lari semakin pontang-panting menuruni turunan perbukitan yang tajam, namun sayang, yang ada di depannya ternyata kini adalah jurang. Tak ada lagi tempat untuk menghindar dari serangan. Reihan terpojok, prajurit fretilin itu langsung menyodok. Reihan tak bisa mengelak, jantungnya mencak-mencak, laga kambing di pinggir jurang itu tak bisa lagi terelak.
Untuk yang kedua kalinya prajurit infanteri marinir itu terjungkal, kali ini hanya beberapa jengkal dari pinggir jurang yang terjal. “Buuuuuk.....!” Hempasan yang keras membuat sebahagian barang-barang yang ada di dalam ransel terlempar Reihan keluar. Sambal terasi buatan calon bini yang terbungkus rapi di dalam ransel tempur juga tumpah berhamburan keluar. Pakaian seragam prajurit infanteri marinir itu kini bau terasi berlumuran sambal.
Duel maut dua orang prajurit tanpa senjata tak lagi bisa terhindar. Reihan yang berada dalam posisi tertelentang langsung dilabrak, prajurit infanteri marinir itu terpojok tak bisa beranjak. Prajurit fretilin itu kini punya kesempatan emas untuk membunuh Reihan. Pisau yang terselip dalam sarungnya di pinggang kini berada dalam genggaman tangan. Seketika itu juga pisau terhunus itu dia arahkan ke dada Reihan.
Pergulatan maut semakin brutal. Ujung pisau menancap secara perlahan, prajurit satu Reihan menjerit kesakitan, sisa-sisa tenaga yang ada dia kerahkan, pisau terhunus itu dia tahan, tangan lawan dia genggam dengan kedua tangan, untuk beberapa saat ujung pisau yang runcing masih bisa dia tahan. Namun posisi Reihan yang berada di bawah membuatnya semakin kewalahan, tenaganya juga mulai berkurang. Prajurit fretilin tak memberi kesempatan. Lagi-lagi ujung pisau bergerak turun ke bawah, hingga kembali menusuk dada sebelah kanan Reihan.
Ujung pisau masih terus bergerak perlahan, dada tertembus semakin dalam, prajurit infanteri marinir itu tak punya kesempatan membalas, dia semakin tak berdaya hampir-hampir kehabisan napas. Prajurit itu meronta ronta dan menjerit minta tolong, namun tak seorang pun dari pasukan infanteri marinir lainnya yang tahu bahwa dirinya tengah ditodong. Prajurit musuh fretilin itu tak akan mungkin melepaskan pisau terhunus yang ada dalam genggaman tangan. Tusukan di dada Reihan bahkan semakin dalam tak ada ampunan. Prajurit satu Reihan meregang nyawa, dirinya mulai kejang kejang, kedua kakinya menepuk-nepuk tanah tak sanggup menahan kepedihan, darah segar kembali bermuncratan.
Dalam keadaan terjepit penuh kesakitan, prajurit infanteri marinir itu terus berjuang mempertahankan kehormatan. Kedua tangan fretilin yang menggenggam pisau dicobanya lagi untuk didorong dengan kedua tangan. Pisau yang terhunus itu kembali bergerak ke atas, namun sayang posisi Reihan yang berada di bawah membuat kekuatan tangannya untuk mendorong sangatlah terbatas. Prajurit fretilin yang berada di posisi atas bahkan semakin beringas, pisau semakin dia tekan dengan buas. Reihan mengap-mengap nyaris saja kehabisan napas.
“Jangan....! jangan....! aaaaahhhhh....!” Pekik prajurit satu Reihan menggeliat kesakitan. Ujung pisau musuh semakin tertekan, tangan kiri Reihan yang terluka terkena mata pisau terlepas, prajurit itu semakin kewalahan menahan pisau yang terhunus hanya dengan satu tangan. Rasa sakit semakin tak tertahankan, tangan kiri prajurit itu menghempas ke sana kemari di atas tanah tak sanggup menahan kepedihan. Sakit yang begitu menyayat dada mengingatkan Reihan pada tujuh butir peluru yang tadi bersarang di dada sersan Parman, begitulah ternyata rasa sakit yang diderita oleh bintara itu hingga dirinya menggeliat meregang nyawa dalam kepedihan yang tak tertahankan.
Tangan kiri Reihan yang menghempas-hempas di atas tanah tiba tiba saja terasa pedas dan panas. Cairan kental dia rasakan menempel di tangan yang luka karena tergores pisau lawan. Tak disangka, sambal terasi buatan calon bini yang tadi tumpah berserakan di atas tanah ternyata terpegang oleh Reihan. Prajurit infanteri marinir yang sekarat itu masih bisa berpikir cemerlang, dia merasakan dirinya kini punya kesempatan.