Sumpah
Rasa sakit yang dirasakan Saniah 27th merintih kesakitan akan segera melahirkan. Raut wajahnya penuh peluh, dengan sekujur tubuhnya dibaluti daster merah motif kembang semakin lepek berkeringat basah karena menahan sakit.
"Bang, cepat tolong panggil bidan Surti. Saya udah ngak tahan, mau ngelahirin" merintih kesakitan Saniah terbaring diatas ranjang.
"Sudah, sudah saya utus Katim, untuk segera menjemput Bidan Surti" sahut Dwi Asbrata 30th semakin ikut panik melihat keadaan Saniah, istrinya yang menahan sakit tidak tertahankan karena ingin segera melahirkan.
"Tapi Bang, saya udah ngak tahan ini! Rasanya anak kita sudah diujung ingin segera keluar" sahut semakin ditambah rasa ngeden dan menahan kesakitan. Saniah beranjak bangun turun daru atas dipan. Tiba-tiba tetesan darah segar rembes keluar mengalir dari kedua pangkal pahanya basahi lantai.
Sontak terkejut Dwi cepat memapah Saniah tidak mau terbaring diatas ranjang lagi. "Lebih baik kamu baringan saja Saniah" pinta Dwi semakin panik penuh peluh pada raut wajahnya. "Ngak kuat Bang, saya sudah semakin mules ini" sahut sambil merintih menahan sakit Saniah.
"Tarr...gelegar..." suara kilat menyambar terdengar dari luar. Semakin panik bercampur cemas Dwi mendudukan paksa Saniah diatas ranjang. "Lebih baik kamu duduk" dengan penuh kasih sayang Dwi membersihkan darah pada kedua paha Saniah saat sudah kembali duduk diatas ranjang.
Sontak semakin tidak bisa menahan sakit Saniah, kedua tangannya terus memegang perutnya."Bang, saya sudah tidak tahan lagi" rintih Saniah tidak karuan sakitnya. "Mana lagi si Katim, kenapa lama bangat jemput Bidan Surti kesini!" celetuk rada sewot Dwi semakin cemas semakin tidak tega melihat keadaan Saniah.
Hujan mulai turun deras sekali, rintiknya mulai bikin becek jalan setapak hutan jati dalam gelepan malam. Dedaunan pohon jati seperti sedang menari keasyikan, karena disirami rintik hujan yang semakin deras.
Pohon jati berjejer rapi tegak berdiri lurus menjulang keatas, banyak daun yang terjatuh karena tidak kuat menahan rintik tetesan hujan semakin lebat. Hanya gelap malam sunyi mencekam, semakin membuat kebisuan penghuni hutan jati.
Suara ringkih putaran roda ban sepeda bergerak berputar kedepan, saat pedal kiri kanan pedal sepeda dikayuh. Kedua ban bergantian melindas genangan air dalam kegelepan, semakin basah kuyup lelaki berwajah cemas. Ada perasaan cemas dari wajah Katim 25th, orang kepercayan Dwi. Katim terus mengayuh pedal sepeda ontel tua ditengah jalan setapak hutan jati.
Rasa kesel bercampur cemas dan marah saat ban sepeda depan tiba-tiba bocor. "Pesssst" suara ban sepeda bocor. "Ya Gusti! Apa lagi ini! Uuh kempes lagi ban sepedanya!" menggerutu kesal Katim turun dari sepeda sambil menendang ban sepeda depan yang bocor.
"Ini ditengah hutan, bukan jalanan kampung! Tidak ada bengkel tambal ban!" semakin jengkel penuh kecemasan Katim akhirnya mendorong sepeda dijalan hutan setapak kebun jati. Kaos oblong putih dengan celana hitam, semakin basah kuyup, tapi tidak menyurutkan Katim ingin segera menjemput Bidan Surti.
Surti, Bidan cantik 22 tahun terbaring sakit diatas ranjang, wajahnya pucat pasi, bibirnya gemetar saling beradu menggigit. Suara tembang lingsir wengi sayup terdengar dsri tave butut tergeletak dimeja nakas samping ranjangnya.
Surti hidup seorang diri jauh dari sanak dan keluarga, terpencil rumahnya ditepian pinggiran hutan hati jati, yang terbuat dari bilik bambu. Semakin sayup terdengar suara tembang lingsir wengi terdengar.
Bilik bambu sudah basah terciprat dengan rintik air hujan. Sinar cahaya lampu remang tergantung didepan rumah bergoyang ditiup angin, cahaya lampunya tidak terlalu terang apalagi untuk menerangi sekitar. Suara rintik hujan semakin menambah kesunyian dalam kegelapan malam sepi disekitar hutan jati.
"Uhuk...huk" suara batuk keluar dari mulut Surti beranjak bangun sambil menahan dadanya. "Rindu dalam kesendirian hanya membuat semakin sulit untuk melepas rindu, terlebih saat ini saya sedang sedang sakit. Hanya sepi sendiri tanpa ada seseorang disini. Hanya tembang lingsir wengi yang selalu setia menemani kesendirian ini" guman Surti sendiri melirik kearah jendela basah dengan rintik hujan.
Sekelebat lewat arwah penasaran diluar jendela. Arwah penasaran itu ternyata diam-diam selalu datang, karena merasa terundang dengan tembang lingsir wengi.
"Seperti ada seseorang depan jendela itu" ujar Surti walau ada perasaan takut, namun hati perasaan Surti begitu penasaran ingin tahu siapa yang berdiri didepan jendela dalam keadaan hujan rintik.
Arwah penasaran berwajah seram, berambut panjang berdiri disamping jendela sudah basah semuanya dengan rintik air hujan.
Saking penasarannya Surti turun dari ranjang. "Uhuk...huk" suara batuk masih keluar dari mulutnya, semakin penasaran Surti berdiri didepan jendela masih dalam kamar.
Sementara arwah penasaran masih berdiri diluar jendela, wajah seram arwah penasaran perlahan menoleh kearah kiri jendela, saat tangan kanan Surti akan meraih grendel jendela.
Sekian lama Surti menyukai tembang lingsir wengi, hanya untuk menemani kesendirian dan kesepiannya selama ini. Akan tetapi Surti tidak tahu, bila tembang lingsir wengi adalah tembang pengundang arwah penasaran.
Tangan Surti sudah menarik grendel jendela mulai terbuka perlahan saat tangan kanan Surti mendorongnya keluar. Wajah arwah penasaran semakin terlihat jelas sangat seram sekali saat jendela mulai terbuka lebar. Selangkah Surti lebih maju akan melongokan wajahnya keluar jendela, semakin mendekati wajah seram arwah penasaran.
"Tok...tok" "Bidan, Bidan Surti!" teriak Katim sambil ketuk pintu dari luar. Sekujur tubuh Katim sudah lepek basah. "Bidan...Bidan Surti!' panggil lagi Katim rada sedikit ketakutan melihat kearah halaman rumah yang sepi mencekam.
Wajah Surti tidak jadi dilongokan keluar jendela, karena mendengar ketukan pintu dan ada yang memanggil namanya. Surti berbalik berjalan kearah pintu. Langkahnya terhenti tidak jadi meraih handle pintu. "Brak!" suara jendela tertutup. Surti sedikit ketakutan tangannya meraih handle pintu kamar dan cepat keluar.
Terlihat seram sekali wajah arwah penasaran berdiri didepan jendela saat Surti sudah keluar dari dalam kamar. Tembang lingsir wengi masih terdengar dari tave butut dengan disertai suara rintik hujan, semakin membuat malam itu serasa sunyi mencekam.
"Uhuk...huk" masih terdengar suara batuk dari mulut Surti, saat Katim masih berdiri didepan pintu seketika terbuka. "Eeh Bidan Surti" ucap terlontar menggigil kedinginan dari mulut Katim saat sudah berdiri Surti dihadapannya.
Hujan masih begitu setia turun menyirami bumi dengan disertai kegelapan malamnya. Dedaunan seakan tidak peduli dengan masih turunnya rintik, walau jalan sudah hampir tergenang banjir.
Rumah bergaya sederhana bercat hijau, dengan penerangan jendela masih terlihat terang dari luar. Semua atap rumah sudah basah dengan rintik hujan, selasar halaman rumah sedikit tergenang becek dengan air hujan.
"Bang...Bang Dwi. Saya, saya?" teriak menahan kesakitan Saniah terus merontah seperti ada sesuatu yang akan keluar dari dalam perutnya. "Duh gimana ini. Kamu sabar ya Saniah, sebentar lagi Katim datang bawa Bidan Surti" tutur Dwi ikut panik pegangai perut Saniah semakin merontah kesakitan.
"Bang, saya udah ngak tahan!" rintih Saniah semakin banyak darah yang keluar membasahi seprei ranjang. Semakin panik Dwi melihat Saniah semakin merontah menahan sakit.
"Akhhhh!" "Glegar...!" teriakan Saniah semakin terdengar dari luar rumah disertai kilat menyambar. Hujan rintik semakin tidak peduli dengan teriakan kesakitan Saniah malam itu.
"Ayo Bidan Surti" ajak Katim menarik tangan Surti keluar dari rumah sembari menutup pintu. Katim melirik sepedanya yang hanya dibiarkan saja didepan rumah Surti "Bang Katim payungnya hanya ada satu?" kata Surti sembari buka payung hitam.