Setelah Ibu meninggal, sebulan kemudian Ayah menikah lagi. Aku dan Adik sempat tinggal bersama Ayah dan Ibu Tiri. Namun, hanya bertahan dua bulan karena istri baru Ayah tidak senang dengan kehadiran kami. Aku dan Adik pun dititipkan di rumah Nenek.
Saat itu umurku masih delapan tahun, dan Adik baru berusia tiga tahun. Pada bulan pertama, Ayah masih memberi uang kepada Nenek untuk kebutuhan kami. Namun, tidak seterusnya. Dia beralasan tidak punya uang karena keperluannya banyak. Akhirnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kami hanya mengandalkan usaha Nenek yang berjualan jamu keliling setiap hari.
Di rumah, aku membantu Nenek meracik jamu, sorenya dia berkeliling rumah warga dengan memanggul bakul di bahunya. Meskipun sudah tua renta, Nenek tak pernah mengeluh dititipi kami--kedua cucunya. Dia mengaku justru senang karena selama ini kesepian tinggal sendiri.
Hari itu hujan deras, tapi Nenek memaksakan diri untuk berjualan, karena sudah berjanji kepada salah seorang pelanggan yang ingin membeli sebotol penuh jamu kunyit asem buatannya. Karena khawatir bila nenek pergi sendiri, aku pun menawarkan diri untuk menemani, tapi Nenek menolak.
“Ga usah. Nenek sendiri aja. Kamu jagain Adikmu itu kan lagi sakit.”
Nenek bersikeras pergi sendiri. Dengan berat hati, aku pun membiarkannya berjalan di bawah siraman air hujan yang begitu deras. Sesekali kilatan petir menghias langit diiringi gemuruh guntur yang menggelegar.
“Nek ... Neneeek ... pucing.”
Masih berdiri di pintu memandangi sosok Nenek yang kian menghilang, dari dalam terdengar rintihan Dinda, adikku. Aku pun segera menghampirinya.
“Nenek jualan. Sama Kak Amar aja, ya. Sini Kakak gendong.” Kugendong Dinda yang begitu lemas.
Sudah beberapa hari Dinda sakit. Nenek hanya memberinya jamu-jamuan yang diracik sendiri karena kami tak punya cukup uang untuk membawanya berobat.
“Pucing ... Nenek mana ....” Dinda menangis.
Segera kutimang-timang saudara sekandung satu-satunya ini. Sejak kepergian Ibu, Dinda memang jadi semakin manja. Dia mudah bersedih hingga menangis. Terlebih ketika Ayah memutuskan untuk menikah lagi, dia terus menempel padaku karena takut pada Ibu Tiri. Lalu ketika tinggal bersama Nenek, Dinda seolah menganggap Nenek adalah Ibu.
“Sebentar lagi Nenek pulang. Dinda bobo dulu lagi, ya. Nanti Nenek sampe rumah, baru Dinda bangun.” Kududukkan Dinda di ranjang.
“Nenek da puwang,” ucap Dinda, terus menangis.
“Pulang, kok. Cuma sebentar jualannya.” Aku berusaha menenangkan.
“Dinda impi Nenek da puwang ....” Tangisannya semakin kencang.
Kembali kugendong. “Cuma mimpi buruk, Dek. Sebentar lagi Nenek pulang, ya.”
Tangis Dinda bersahutan dengan suara petir yang semakin sering terdengar. Saat kudekap, tubuhnya terasa semakin panas. Wajahnya pun pucat.
“Udah jangan nangis. Nanti makin sakit.”
“Neneeek ....”